Selalu Ku Rindukan Suaramu, Ukhti…

Kereta jurusan Yogyakarta-Surabaya tiba di Stasiun terlambat sekitar 5 menit dari jam kedatangan kereta yang telah ditentukan. Kami berdua masih berdiri menghadap badan kereta yang sedikit renta itu. Tak lama kemudian muncullah sesosok gadis mengenakan pakaian coklat dan celana hitam membawa seabrek bawaan. Dia tersenyum sembari berlari kecil menghampiriku.


"Makasih ya Mbak uda mau jemput aku kesini." Ucap Dizka sambil memelukku.

Dizka adalah anak salah satu tetangga Nenekku yang tinggal di Jogja. Herannya, dia malah memilih berkuliah di Surabaya denganku daripada di Jogja yang jelas-jelas kota Pelajar. Alasannya sih ingin mandiri. Alhasil Budhe Yati, ibunya menitipkan Dizka padaku untuk berkuliah di Kampus yang sama denganku. Walaupun aku sendiri disini ngekost, aku pun berusaha menjaga amanah dari Budhe Yati.

Aku memperkenalkan Farah pada Dizka. Dan kami pun membantu Dizka membawa barang-barangnya.

000000

"Ini kamarmu dek." Ucapku memperlihatkan sebuah kamar yang terletak tepat didepan kamarku.

"Hmm, nyaman juga kamarnya Mbak." Ucap Dizka sambil memperhatikan desain interior kamarnya.

"Kalau perlu apa-apa, bilang aja ama kita berdua ya dek, didepan kamarmu itu kamarnya Asma, disamping kamarnya Asma, itu kamarku." Ucap Farah.

"Iya Mbak, senang deh bisa kenal Mbak Farah juga." Ucap Dizka kemudian.

Aku dan Farah segera meninggalkan Dizka dari kamarnya. Membiarkannya mengistirahatkan badannya setelah perjalanan jauh.


00000
Kami bertiga pun mulai dekat sebagai sahabat. Kami sering pergi bersama walaupun terkadang Dizka jarang ikut karena jadwal kuliah kami yang tak sama. Aku dan Farah telah menginjak semester empat sedangkan Dizka masih semester satu. Tapi itu tak menjadikan halangan bagi kami untuk tetap berkumpul saat di kost.

Hingga pada suatu hari, tepatnya hari minggu. Biasanya tiap hari minggu pagi kami bertiga ikut Car Free Day di dekat Kampus. Tapi kali ini saat aku dan Farah menuju kamar Dizka, kami mendapati kamarnya terkunci. Kami pikir mungkin dia tidur, akhirnya aku dan Farah hanya berdua saja mengikuti Car Free Day hari ini.

Seusai Car Free Day, kami berdua kembali mengetuk pintu kamar Dizka.

"Dizka tadi pagi sekali pergi, ndak tau kemana, bilangnya ada acara gitu di daerah Ketintang." Ucap Indi salah satu penghuni kost lain.

"Ouw, lha dia pergi ama siapa? Dia kan belum tahu jalan daerah sini?" Ucapku cemas.

"Tadi boncengan ama temannya cewek kok." Jawab Indi sambil berlalu.

"Udah tenang aja Ma, mungkin dia kerja ingin maen sebentar. Lagian juga dia ama teman cewek kan, mungkin dia gak sempat pamit ke kita." Ucap Farah menenangkanku.

Sekitar pukul 10.00 pagi, saat aku dan Farah sedang santai di taman belakang kost. Dizka datang menghampiri kami.

"Udah pulang Dek?" Tanya Farah.

"Udah Mbak, maaf ya Mbak, Dizka ndak pamit ama Mbak Farah dan Mbak Asma. Aku pikir Mbak masih tidur." Jawab Dizka menjelaskan pada kami.

"Ndak pha-pha kok Dek, emang abiz darimana?" Tanyaku kemudian.

"Dari Ketintang Mbak, ada mentoring." Jawab Dizka.

"Mentoring apa emangnya?". Tanya Farah lagi.

"Mentoring ama Mbak Atiqah."

"Atiqah? Atiqah siapa?" Farah heran.

"Atiqah Hafizah, aku abiz diajak kajian ama dia Mbak, bareng 3 orang teman sekelasku." Cerita Dizka.

"Kajian? Kamu ikut kajian?". Tanyaku dengan kaget.

"Hu.um Mbak, seru deh Halaqahnya." Jawab Dizka singkat.

"Kamu kenal Atiqah dimana Dek?" Tanya Farah.

"Di Masjid Mbak, kamis kemarin abis selesai sholat Dhuhur. Waktu aku ama tiga orang temanku sedang duduk diteras Masjid, ada Mbak Atiqah, terus kami diajak ikut halaqah hari minggu. Setelah dijelasin sama Mbak Atiqah, kami pun bersedia." Jelas Dizka pada kami.

Aku hanya bengong melihat Dizka dengan antusiasnya menceritakan hal itu pada kami. Aku tak menggubrisnya, hanya Farah yang serius mendengarkan Dizka.

Aku masih enggan mendengar hal ini lagi. Mataku nanar menatap senyuman Dizka. Kosong....


00000

Semenjak Dizka mengikuti halaqah dan semenjak Dizka masuk menjadi anggota Rohis di Kampus, Dizka sering sekali pulang sore. Entah untuk urusan rapat, kumpul anggota, dan lain sebagainya.


00000

Hari ini Dizka pulang siang. Ada yang berbeda dari diri Dizka antara pagi tadi dan siang ini.

"Kamu pakai rok Dek?". Celetuk Farah sambil memainkan remote televisi.

"Iya Mbak." Jawab Dizka dengan tersenyum.

"Bukannya tadi pagi kamu pakai celana?" Tanya Farah.

"Iya, ini aku dipinjemi Mbak Atiqah. Tadi di Masjid Mbak Atiqah berbicara tentang aurat wanita. Terus aku bilang ke Mbak Atiqah kalau aku gak punya rok. Terus Mbak Atiqah ambil rok dilemari sekret Rohis buat aku. Katanya itu rok nya Mbak Atiqah, emang sengaja Mbak Atiqah dan teman-temannya menaruh beberapa rok disitu, siapa tahu suatu saat ada yang membutuhkannya." Jelas Dizka panjang lebar.

"Ooohhh." Jawab Farah singkat.

"Aku uda bertekad buat beli gamis dengan uangku sendiri Mbak. Aku juga janji ama Mbak Atiqah, Insya Allah secepatnya aku akan mengembalikan rok-rok yang aku pakai ini nanti setelah aku bisa punya gamis sendiri. Yah meskipun aku harus mengurangi uang jajanku tapi gak pha-pha pasti ada jalan kok kata Mbak Atiqah. Ucap Dizka sambil berlalu.

Aku tersenyum sinis. Masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Luka lama itu kini terkuak kembali. Luka yang seharusnya aku tutup rapat-rapat tapi kini dengan paksa, ia terbuka lagi.

Luka itu... Membuat hatiku diselimuti kebencian. Kebencian yang teramat sangat.. Aku benci... Sangat benci...


00000

Setiap hari aku melihat Dizka memakai pakaian itu. Pakaian yang katanya pakaian bidadari-bidadari Syurga. Ahh apalah namanya itu, aku tak peduli. Semakin sesak disini.. Didadaku.. Ingin rasanya aku merobek gamis itu.


000000

Hari ini Dizka menemuiku yang sedang duduk sendiri menonton televisi di ruang tengah.

"Mbak, hari ini ada Liqo sabtu pagi di Kampus, buat Ikhwan dan akhwat. Ikut yuk, daripada bengong sendiri disini." Ucap Dizka.

"Ndak ahh males." Jawabku sekenanya.

"Daripada liad tivi, mending ikut Liqo, gratis kok Mbak. Dapat pahala juga." Ucap Dizka lagi.

"Nggak Dek. Aku males ketemu orang-orang munafik macam mereka. Yang bisanya koar-koar atas nama kebaikan dan Dakwah. Tapi kenyataannya munkar." Jawabku Ketus.


Dizka hanya tersenyum mendengar ucapanku.


"Ya sudah, lain kali kalau Mbak mau ikut Liqo mingguan, hubungi aku ya Mbak. Aku pergi dulu, Assalamu'alaikum." Pamit Dizka sambil berlalu. Aku hanya menjawab salam itu dalam hati saja. Sambil masih mengingat hari itu.

00000

Hari ini, aku ingin berjalan-jalan sendirian saja. Aku memasuki salah satu Cafe disebuah Mall yang tak jauh dari Kampus kami. Aku pun menuju kasir untuk memesan menu. Tanpa disadari, disampingku telah berdiri seorang pelanggan wanita. Sosoknya begitu aku kenal. Bagaimana tidak? Kami pernah berteman, bahkan pernah bersahabat selama dua tahun.

Atiqah Hafizah....

Yahh dialah Atiqah mantan sahabatku dulu yang sekarang jadi mentor halaqah Dizka. Mantan sahabat? Rasanya aku tak pernah mendengar istilah itu.

Dia tersenyum padaku ketika mengetahui aku berdiri bersebelahan dengannya.

"Asma.. Mau pesan juga?". Tanyanya sambil tersenyum, sama persis saat aku masih menjadi sahabatnya dulu. Mungkin dia masih menganggapku sahabat, tapi akulah yang pelan-pelan menghindarinya.

"Iya." Jawabku dengan sedikit senyum yang aku paksakan.

"Duluan ya Ma, Assalamu'alaikum." Ucap Atiqah berpamitan denganku.

Senyumnya masih tertinggal disini. Aku melihat punggungnya berlalu. Bias cahaya pakaiannya yang berwarna hijau mengingatkanku.

"Wah, kita samaan hari ini ya Ma, pakai gamis warna hijau. Warna kesukaan Rasullullah." Ucap Atiqah dua tahun lalu saat kami bertemu di lorong Masjid. Yahh semenjak hari itu kami sering memakai gamis berwarna hijau.

Aku tersadar dari lamunanku saat salah seorang kasir menanyakan pesananku.


  00000

Sekembalinya dari Cafe, aku bertemu Dizka di teras depan Kost. Aku lihat dia terburu-buru.

"Mau kemana Dek?" Tanyaku.

"Rapat buat Seminar minggu depan Mbak." Jawab Dizka.

"Acara Rohis?". Tanyaku lagi sembari diiringi anggukan kepala dari Dizka.

"Nih, ada roti isi dan minuman. Tadi Mbak emang beli banyak buat penghuni Kost. Pasti kamu belum makan.

"Makasih Mbak". Ucap Dizka menerima pemberianku sambil pamit menuju Kampus.

Bayangan Dizka semakin jauh meninggalkanku. Aku melihat kesungguhan itu di diri Dizka. Senyumnya yang tak pernah lelah menggapai jalan Allah.

Luka itu menyapa lagi..

"Kenapa kamu tak pernah bilang padaku kalau kamu akan menikah dengannya?" Tanyaku pada Rizal sambil memegang sebuah undangan. Undangan yang tertulis nama Rizal dan Husna kakak kelasku di Rohis.

"Afwan Ma." Jawab Rizal kemudian.

"Kau yang dulu berjanji padaku untuk menungguku selesai kuliah." Ucapku lagi dengan suara bergetar.

"Aku memang salah, tak sepantasnya aku berjanji seperti itu. Aku sadar, seorang Muslim tak seharusnya berjanji seperti itu terhadap yang bukan mahramnya." Jawab Rizal lagi.

"Tapi tak harus dengan Mbak Husna juga Mas." Ucapku sambil meninggalkan Rizal.

Aku menangis waktu itu. Yahh menangisi hidupku yang tak pernah berhenti dari masalah. Mulai dari teman-teman yang menjauhiku karena ikut Rohis, sampai Mas Rizal yang memilih orang lain sebagai teman hidupnya.

Kekesalanku semakin menjadi ketika Mbak Husna lah yang menjadi pendamping hidup Mas Rizal. Mbak Husna adalah kakak kelasku yang juga ikut Rohis, sedangkan Mas Rizal juga kakak kelasku yang masuk menjadi anggota Rohis. Aku pikir semua anak Rohis baik tapi nyatanya seperti ini. Menikamku. . . .

000000

Munafik..…Pengemban Dakwah tak sepantasnya seperti itu. Apa yang mereka sampaikan hanya omong kosong. Mengumbar dengan judul kebaikan tapi semuanya Nihil.

"Sudah, sudah. Seharusnya kamu bersyukur, Mas Rizal mau mengakui kesalahannya. Dia khilaf seperti itu." Ucap Atiqah menenangkanku.

"Buat apa dia ikut Rohis, kalau kelakuannya seperti itu." Jawabku kesal.

"Mas Rizal gak selamanya salah Ma. Dia berjanji padamu saat hatinya tertutup oleh syetan dan Mas Rizal segera tersadar kan? Lantas mengambil jalan itu. Kamu juga salah, tak seharusnya dulu kamu terlena oleh janji Mas Rizal. Istighfar Ma, beruntung Allah telah menyadarkan kalian berdua." Ucap Atiqah lagi.

"Tapi kenapa harus Mbak Husna?" Tanyaku sambil terus menangis.

"Itu berarti, Allah telah menakdirkan Mbak Husna dengan Mas Rizal. Ingat Ma, kita semua berada dalam satu ikatan. Mas Rizal, Mbak Husna, aku, kamu dan teman-teman lainnya di Rohis berada dalam ikatan persaudaraan. Tak seharusnya kita membenci saudara kita sendiri." Jelas Atiqah panjang lebar.

"Bilang aja kamu ngebela mereka. Kamu sama saja sama teman-teman Rohis yang lain. Munafik.. Aku benci kalian semua." Ucapku sambil meninggalkan Atiqah.

"Asma.. Asma..." Teri
a
kan Atiqah tak membuatku urung pergi dari sana.

Semenjak hari itu, aku tak lagi bergabung dengan Rohis dan semenjak hari itu aku meninggalkan sahabatku. Atiqah....

Lamunanku tersadar saat aku teringat bahwa aku tadi ingin memberikan roti pada Farah. Aku pun menuju ke kamarnya. Tak ada siapa-siapa. Begitu berantakan sekali kamar ini. Aku menuju meja kecil yang berada disamping tempat tidur. Aku meletakkan bungkusan roti itu disana.

Kakiku menyenggol sebuah benda saat aku ingin pergi dari sana. Sebuah kaset VCD yang aku rasa milik Farah. Aku baca tulisan yang tertera di VCD itu.





"Nasyid Rohis SMA Harapan"

Aku membaca lagi tulisan disampulnya.

Anggota :
1. Adira Rahma
2. Suci Fitri
3. Farah Adawiyah
4. Tyas ningrum Dewi

Sosok Farah ternyata sudah ada dibelakangku. Dia segera mengambil VCD yang berada ditanganku.

"Kamu dulu ikut Rohis?" Tanyaku.

"Yahh, sebelum ada aroma penghianatan disana.” Ucapnya menerawang

Aku diam, masih bingung dengan kalimat yang diucapkannya.

“Sebelum Tyas meninggal saat berboncengan dengan kakak kelasku di Rohis, dengan gampangnya dia bilang tidak bersalah, padahal jelas-jelas dia yang membuat Tyas terjatuh dari motornya. Aku benci dengan kebohongannya, aku benci semua anak Rohis!! Kau pun begitu kan Ma? Kau juga benci kan ama anak Rohis? Aku melihat kebencian itu di matamu Ma. Sorot kebencian itu begitu jelas terpancar saat kau melihat Dizka." Ucap Farah sambil menahan airmata.

Aku pun gamblang mendengar apa yang diucapkan Farah tadi. Sambil berlalu, batinku mulai tak karuan. Aku yakin, di hati Farah tersimpan kerinduan. Kerinduan terhadap hal itu. Aku melihat itu di alunan suaranya yang bergetar saat menceritakannya.

Aku tersentak kemudian, tanganku mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Semenjak waktu itu, aku tak lagi berpakain sempurna menutup aurat seperti dulu. Kerudung lebar, baju longgar dengan bawahan rok lebar atau menggunakan terusan seperti gamis. Aku memilih menanggalkan itu semua dan mulai memakai kerudung pendek, baju ketat dan bawahan celana ketat. Aku berusaha memendam kebencianku dengan melampiaskan kemarahanku terhadap diriku sendiri yang akhirnya malah membuatku tersiksa…

Batinku tersiksa, tersiksa menyaksikan mereka yang masih Istiqamah di jalan-Nya. Walaupun mereka mempunyai masalah yang lebih besar dan lebih rumit dariku tapi mereka tetap bertahan.

Sedangkan aku? Segini saja aku menyerah?? Astaghfirullah.. Ampuni aku Ya Allah... Aku belum siap jika hari ini Engkau memanggilku...

Tanganku bergetar mencari sebuah contact. Aku masih menyimpannya, masih menyimpan sebuah nomor itu meskipun telah lama aku melupakannya.

"Assalamu'alaikum." Nada suaraku bergetar begitu nomor itu tersambung.

"Wa'alaikumsalam." Suara lembut itu masih seperti dulu.

Aku terdiam lama tak bersuara.

Asma Adibah

Seharusnya aku menjadi wanita beradab yang lantang menyuarakan kebenaran seperti arti dari namaku.

Aku masih tetap terdiam, tak berani berbicara.

"Asma. . . . ". Suara diseberang sana terdengar.

Aku tercekat,, Dia mengingatku? Masih mengingatku?
Sahabatku...
Ternyata dia tak pernah meninggalkanku, bahkan tak pernah melupakanku.

Aku berucap dengan suara bergetar sambil menahan airmata.


"Atiqah... Ak-akuu, akuu.. Aku ingin kembali..."




Nb : Kritik dan saran buat karya ku yang ini monggo...



Read More......
Senin, 26 November 2012 Posted in | | 0 Comments »

Read More......
Senin, 19 November 2012 Posted in | | 0 Comments »


"I believe, a shine in your eyes"

Arrrggghhhh kalimat itu membuatku dua hari ini waspada terhadap keadaan sekitar. Dan ini kali pertama aku mendapatkan kartu bertuliskan kalimat tanpa nama.

Yach, hal yang membuatku takut belakangan ini, bagaimana tidak? Aku mendapat kan kartu berwarna biru muda dengan tulisan yang sama, di tempat yang sama. "Bangku Tempat Aku Duduk di Kelas".

"Jangan-jangan ada yang neror aku? Tapi kalau neror kenapa kalimatnya seperti itu?" Aku duduk sembari menimang-nimang kartu yang ku dapat.

Dan hari ini aku mendapatkan kartu yang ke dua, tetapi kali ini berbeda, hanya tertera simbol dengan huruf yang tak ku mengerti

                                                (€)===> GDHAGENANDRDAMREAA

"Apa ini maksudnya?" Ya Allah aku semakin bingung.

                                                                        000000

Pagi ini ujian Ilmu Komunikasi, beberapa temanku di panggil Dosen ke ruangannya untuk mengambil soal ujian.

Soal pun dibagikan Garma, Edi dan Evi, dan saat aku terima, ternyata aku mendapatkan kartu biru muda itu lagi. Segera aku buka kartu tersebut.

"Maafkan aku...".

                                                   (€)===> GDHAGENANDRDAMREAA

Cepat-cepat ku masukkan kartu itu ke dalam tasku. Karena aku tidak mau nantinya sang Dosen Killer menyuruhku keluar ruangan.

Aku tak pernah berani cerita hal ini ke siapapun, tak terkecuali para sahabatku Nina dan Icha. Aku tak mau melibatkan mereka dalam hal ini.

Fiuhhh... Ku rebahkan tubuhku di atas kasur kesayanganku. Segera setelah itu aku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibanku siang ini.

Sejenak ku lupakan kartu misterius itu kala ku berdialog dengan Penciptaku. Tapi setelah itu, rangkaian kalimat seperti sebelumnya kembali lagi terngiang di otakku.

"I believe, a shine in your eyes". Astaghfirullahaladzim.

                                                                            000000

Aku menuju perpustakaan untuk mencari buku guna mengerjakan tugas  yang akan dikumpulkan minggu depan. Saat aku ingin memasukkan buku yang aku pinjam ke dalam tas, aku menemukan sebuah kartu. Kali ini berbeda, kartu yang aku dapat berwarna kuning muda.

Jika huruf-huruf yang anda lihat dikalikan dengan huruf-huruf yang bersama-sama saling membutuhkan. Dan jika matahari tercipta tidak hanya satu melainkan tercipta sejumlah kartu berwarna biru muda dengan abjad X , lalu akankah sebanyak itukah sinarnya??

Jika sinar itu berada di Kutub Selatan dan Kutub Utara, mengapa harus ada tanda baca yang memisahkannya?

Dan jika sebab itu tadi menjadi ada, maka mungkinkah dia terbagi seperti untaian Zamrud Hijau yang selalu kau nantikan?

                                                    (€)===> GDHAGENANDRDAMREAA

"Haddeh, dia lagi yang mengirimi kartu? Apa sih yang dia bicarakan? Bikin pusing aja". Sambil menghela nafas kesal aku masukkan lagi kartu itu ke dalam tas.

                                                                      000000

Pip, Pop, Pip, Pop. Ku mainkan lampu belajarku berulang kali.

"Aduhh, gimana ini?? Tugas ini  rumit amat, mana lusa dikumpulin lagi."

"Padahal besok masih ada tugas lain yang harus aku kerjakan, gak mungkin aku ngurusin tugas ini doank." Ucapku sambil dari tadi berusaha bikin soal yang tepat.

Tengah malam akhirnya selesai juga. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Tertera sebuah pesan singkat di layar ponsel.

"Sinar itu redup hari ini."
                                                            
                                                        (€)===> GDHAGENANDRDAMREAA

Sms dari nomor yang tak kukenal. Aduhh.. Dari dia lagi? Segera ku matikan ponselku.

000000

Pagi ini aku terburu-buru memasuki kelas, dan saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Bagaimana tidak? Tak pernah aku seterlambat ini. Beruntung Dosen tidak bisa hadir.

"Beruntung kamu Zen." Celetuk Nina dan Icha.

"Zena, tumben.. Abis begadang?" Ucap Garma. Belum sempat aku jawab, Edi memotong.

"Hahahahaha, semalem ngerjain tugas ya."

Aku hanya tersenyum melihat teman-temanku.

Hari ini aku tak mendapatkan kartu itu. Sempat terpikir mungkin tuh orang capek nulisnya. Ahh biarin aja, hidupku tenang sekarang.

Beberapa hari ini rasanya bebanku hilang. Tapi... Saat aku dari kantin dan menuju kelas, kartu berwarna kuning muda berada di atas tempat dudukku. Kartu itu hanya berisi serpihan kelopak mawar putih yang menempel disana. Dan masih meninggalkan teka-teki yang sama 
                                                            (€)===> GDHAGENANDRDAMREAA

Segera aku simpan ke dalam tas dan berlari menemui Rievan di Fakultas sebelah.

Rievan yang notabene kakak sepupuku hanya ketawa ngakak setelah aku tunjukkin beberapa kartu dari penggemar misterius itu padanya.

"Jadi, adikku yang satu ini punya penggemar juga?" Sambil masih ketawa ngakak.

"Iiihh, udah deh mas, aku ini serius. Bantuin kek adikmu ini yang lagi ketakutan malah ngetawain kayak gitu, ngakak pula." Ucapku sambil manyun.

"Hehehehehe, iya iya dek, bentar deh, penggemarmu ini unik juga ya, pake sandi-sandi gini, coba kamu tanya ke guru Pramuka SMA." Ucapnya asal.

"Maaass!" Teriakku pelan sambil melototinnya.

Lagaknya aksi sedikit marahku berhasil bikin kakak sepupuku itu berhenti ketawa dan mulai mengamati satu per satu kalimat yang tertera di tiga kartu biru muda dan dua kartu kuning muda. Alisnya mulai naik turun saat berusaha menebaknya.
                                                                          000000

"Masih ingat kalimat Jodie Starling di comic Detektif Conan edisi 42? When you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth." Mas Rievan megucapkan kalimat itu sambil menatapku serius.

"Walaupun hal yang tersisa setelah kau menyingkirkan hal yang mustahil adalah hal yang mustahil pula itulah keberannya." Jawabku kemudian.

"Yap tepat!! Patokannya adalah hal yang berbeda dari biasanya. Walaupun itu hal sepele yang bisa dilakukan oleh siapapun, kalau berbeda dengan biasanya, itu masalah besar! Karena tak ada yang lebih ganjil daripada hal yang biasa. Rievan berkata sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Jadi orang itu, ingin bermain detektif-detektifan denganku?" Tanyaku lagi.

"Yakk, kemungkinan dia adalah orang yang telah mengenalmu sejak lama dek, karena hanya orang yang mengenalmu sejak lama lah yang pasti hafal dengan hobimu membaca comic Conan, mungkin dia ingin menguji naluri detektifmu." Mas Rievan kembali menatapku serius.

"Yang tau aku hobi baca Conan, cuma kamu ama teman-temanku dikelas." Jawabku.

"Oke.. Berarti kita persempit kemungkinan, bahwa orang itu adalah salah satu temen sekelasmu, mengingat dimana kamu mendapatkan kartu-kartu itu. Beberapa kamu dapatkan di atas mejamu di kelas, dan hanya satu kartu saat berada di perpustakaan." Celoteh Mas Rievan.

"Lantas sipa Mas? Tunggu dulu..." Mataku terhenti pada simbol (€).

Jari telunjukku aku letakkan pada simbol (€). "Bukankah ini lambang mata uang Euro?"

"Itu berarti, orang yang ngirimi kamu kartu, inisialnya E." Selidik Mas Rievan.

"Edi.. Tapi gak mungkin, dia uda punya cewek, Erna atau Evi? Gak mungkin juga, mereka kan cewek." Dengusku kesal.

"Bukan dek, bukan inisial nama panggilan tapi.. Coba kamu baca lagi kalimat ini :

Jika huruf-huruf yang anda lihat dikalikan dengan huruf-huruf yang bersama-sama saling membutuhkan. Dan jika matahari tercipta tidak hanya satu melainkan tercipta sejumlah kartu berwarna biru muda dengan abjad X , lalu akankah sebanyak itukah sinarnya?? Itu berarti GDHAGENANDRDAMREAA". Mas Rievan kembali berpikir.

"Huruf-huruf yang bersama dan saling membutuhkan? Jumlahnya 18, kalau bersama, coba dikelompokkan menjadi tiga :

                                                                    GDH
                                                                    AGE
                                                                   NAN
                                                                   DRD
                                                                   AMR
                                                                   EAA


Gini mungkin mas". Sambil mencoret-coret di kertas.

"Jika matahari tidak hanya satu, tercipta sejumlah kartu berwarna biru muda, kamu dapat tiga kartu warna biru muda kan? Terus abjad X, itu berarti jumlah huruf tadi 18 x 3 = 54. Hitung Mas Rievan

"Lalu sebanyak itu sinarnya? Berarti gak mungkin ada 54 matahari. Kalimat berikutnya :
Jika sinar itu berada di Kutub Selatan dan Kutub Utara, mengapa harus ada tanda baca yang memisahkannya? Itu apa maksudnya Mas?". Tanyaku pada Mas Rievan.

"Kutub Selatan dan Kutub Utara merupakan dua Kutub kembar. Kembar=2, mengapa harus ada tanda baca yang memisahkan, tanda X (kali) sudah kita gunakan, berarti tanda : (bagi). 54:2 = 27". Sambil tersenyum simpul Mas Rievan padaku.

"Dan jika sebab itu tadi menjadi ada, maka mungkinkah dia terbagi seperti untaian Zamrud Hijau yang selalu kau nantikan? Zamrud Hijau yang aku nanti? Aku tak pernah terpikirkan tentang batu Zamrud." Kataku heran.

"Bukan batu dek, tapi hal yang selalu kamu nanti! Atau mungkin yang selalu kamu lihat, kamu tunggu.." Belum selesai Mas Rievan menyelesaikan kalimatnya, aku pun berkata,

"Setiap hari aku selalu menyempatkan untuk melihat tiga pohon besar di area Kampus tempat para Mahasiswa duduk-duduk santai, aku selalu melihat ke arah sana sebelum memulai pelajaran dari jendela kelas, dan teman-teman sekelasku tau itu. Berarti kalau begitu 27 x 3 = 81, 8+1 = 9. Dan kalau misal tidak dikali melainkan dibagi, 27 : 3 = 9 juga." Kataku sambil menyeruput minuman.

"Sembilan.. Ehmm, absen sembilan di kelasmu siapa dek?" Tanya Mas Rievan.

"Garma.. Tapi masak iya." Heranku.

"Zena.. Mumpung ketemu disini, nitip Kartu Mahasiswa nya Garma ya, tadi ketinggalan di Perpustakaan." Lia Mahasiswi Jurusan Psikologi nitipin sebuah KTM padaku. Sejenak aku baca nama yang tertera di KTM itu sesaat setelah Lia berlalu.

Ganda Edgar Mahendra.

Lucu juga nama panjangnya dia. Senyumku terhenti seketika saat itu.

Ganda Edgar Mahendra?

                                                                          GDH
                                                                          AGE
                                                                          NAN
                                                                          DRD
                                                                          AMR
                                                                          EAA


Kalau dibaca dari atas kebawah lima huruf jadi Ganda,lalu bawah ke atas lima huruf jadi Edgar, terus sisanya delapan huruf yaitu Mahendra, dan huruf acak itu jadi...
  Ganda Edgar Mahendra.

"Masya Allah." Teriakku pelan dengan terkejut.

Mas Rievan pun menepuk-nepuk pundakku sambil ketawa "Akhirnya teka-teki itu terpecahkan berkat insting Detektif kita berdua."

Aku pun hanya tersenyum sembari tercengang masih tidak percaya. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Tertera pesan masuk dari Garma.

"Assalammu'alaikum, Zena, bisa ketemu sebentar di taman kampus?"

Tanpa aku balas. Aku pun beranjak menemuinya. Mas Rievan pun hanya bengong lihat aku berlalu tanpa berpamitan dengannya.

                                                                    000000

"Dasar, adik sepupuku yang satu itu. Kalau uda kelar masalahnya, selalu cabut gitu aja." Ucap Mas Rievan dengan manyun sambil menyeruput minuman yang aku tinggalin tadi disana.

Aku berdiri membelakangi sosok yang saat ini sedang duduk di atas Gazebo berwarna ungu. Dia pun menoleh sambil tersenyum padaku. Aku pun segera duduk disampingnya agak jauh.

Garma tersenyum melihatku yang daritadi masih memegang KTM nya.

"Zena uda tau ya." Ucapnya memulai pembicaraan.

"Maksud kamu apa Ma?" Jawabku.

"Afwan sebelumnya ya," Garma menunduk.

"Bukan itu yang aku permasalahkan, tapi kalimat demi kalimat yang kau tulis di kartu itu." Tanyaku lagi.

"Kamu pasti tau, apa yang aku maksud." Ucap Garma kemudian.

"Afwan Ma, aku ndak bisa. Kamu pasti tau alasanku. Aku rasa kamu lebih paham tentang ilmu Agama daripada aku. Dan kamu pasti tau maksud alasanku.Sadarkah jika kita sama-sama pengemban Dakwah?" Kataku sambil sedaritadi ku tundukkan pandanganku.

"Hemm , iya aku tau. Afwan ya Zee,, Astaghfirullahaladzim, aku sudah tergelincir dalam hal ini." Ucap Garma Lirih.

Kami berdua hanya terdiam disana sembari melihat para Mahasiswa berlalu lalang, di iringi daun-daun kering yang jatuh perlahan di sekitar kami. Suasana hening tanpa ada goresan kata lagi.

Diam.... Garma menatap langit sambil tersenyum pada Apa Yang Telah Menciptakannya.

Dan aku... Aku tetap menundukkan pandanganku sambil sesekali menatap langit yang terlihat tersenyum.. Tersenyum melihat kami disini..

Ya Allah... Satukan Ukhuwah kami sebagai Saudara Sesama Muslim sampai kapanpun...

Read More......
Rabu, 31 Oktober 2012 Posted in | | 0 Comments »


Namanya Ramadhan Azka Pratama, dan Meyka menyimpan baik nama itu di kepalanya. Bukan karena salam yang selalu diucapkan lelaki itu setiap kali bertemu tetapi karena tetesan embun sejuk yang selalu dia hadirkan dalam hidup Meyka.

Ramadhan Azka Pratama yang humoris namun santun itu sangatlah bijaksana dalam setiap apa-apa yang mampir di depan matanya. Hanya saja Meyka tak pernah tau apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya.

Sosok lelaki itu begitu teguh menjaga pandangannya, begitu berhati-hati sikapnya, begitu lembut tutur katanya, namun tegas jika itu menyangkut tentang ajaran Agamanya!

Yahh seperti itulah Khadijah Meyka Febiola menilai sosok lelaki yang sempat dikaguminya. Goresan kata tak mampu ia tumpahkan lebih banyak hanya untuk berlemah-lemah mengharapnya. Karena Meyka telah mengambil langkah indah untuk menyimpan semuanya.

Mungkin Meyka bukan tipe Akhwat berkedok kawat yang dengan bangganya mengumbar rasanya. Tapi Meyka tak memungkiri rasa yang terlanjur ada. Itu Fitrah bukan? Apa salahnya jika muncul rasa itu? Akan tetapi kemunculannya tak akan pernah menggoyahkan Iman Meyka.

Sesekali rasa rindu itu menyeruak hingga ke puing-puing gumpalan hati yang sedang bekerja. Sesekali bayangan Azka melintas tanpa permisi di kepalanya. Sempat tersenyum penuh arti namun segera rasa takut di hati Meyka muncul. Rasa takut akan murka Tuhannya.

Sebenarnya apa yang sedang di rencanakan Sang Pencipta alam semesta untuk mereka? Tak ada yang tau, dan tak ada yang akan tau seperti apa. Hanya menanti, cahaya indah itu akan berhenti dimana.

Lantunan doa selalu dipanjatkan disetiap malam. Entah apa yang akan terjadi kemudian hari, namun doa itu selalu mengalun pasrah tanpa amarah.

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati.. Insan manakah yang akan Engkau takdirkan untuk Ummat-MU berikutnya? Hanya dia yang baik lah yang akan dipasangkan dengan yang baik, begitu pula sebaliknya.

Tak ada protes apapun, hanya menerima dengan lapang, selapang Iman di dada. Hati yang selalu tertunduk atas apapun yang telah diterima.

Seperti Senja yang selalu indah dengan jingganya....
Seperti Malam yang selalu menyimpan setiap makian, umpatan bahkan pujian oleh makhluk yang bernama manusia atas takdir-NYA....
Seperti Fajar yang selalu tersenyum atas sinarnya...

Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan... Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan??

Dan nikmat ini tak akan pernah terdustakan.. Nikmat atas apa yang pernah mengetuk nurani... Atas maaf yang mengundang buliran airmata ini untuk terampuni...

Ampuni segala bentuk derap hati yang pernah mengendap diam-diam.. Ampuni segala khilaf goresan dosa yang sempat meringkik pelan... Biarkanlah ini tersimpan tanpa harus tersentuh oleh kebijakan syetan..

Biarkanlah untaian kata tentangmu,, senandung untukmu,, menyatu dengan udara... Agar senantiasa dirasakan tanpa harus merasa hilang...

Terpatri keinginan untuk bisa menyentuh hati yang terendap lara... Lara yang kian menunduk karena ke Istiqomahan hati tetap tunduk atas perintah-NYA.. Allah Subhanallahu Wata'ala...

Ya Rahman Ya Rahim, teguhkan hatiku diatas Agama-MU...

Read More......
Posted in | | 0 Comments »


CERMIN YANG PERNAH RETAK


Brremm..brremm..brremmm,, suara kendaraan bermotor saling bersahutan di jalan raya. Mentari seolah tak pernah protes ketika asap mereka menggelitik nuraninya. Yach begitulah rutinitas setiap pagi di sebuah kota yg cukup sibuk di Negara ini.

 
"Yaacchh lampu merah lagi" Nada kecewa dari seorang ikhwan diatas motornya.


 Sedikit kesal,bagaimana tidak sudah dua kali lampu hijau,tetap saja dia tak bisa mendahului kendaraan di depannya. Alhasil kali ini dia berhenti untuk yang ke tiga kalinya. Sesaat,lampu merah yang daritadi dipandanginya seolah mengalah untuk mempersilahkan dia melanjutkan perjalanannya. Seulas senyum simpul tersungging di bibirnya.
 
"Astaghfirullahaladzim,sudah jam segini?Waduh telat.." Pekiknya ketika memakirkan motor kesayanganya di parkiran sebuah Universitas Islam tempatnya menimba ilmu. Tanpa pikir panjang,segera ia langkahkan kakinya secepat kilat,dengan jurus berlari tanpa batas menuju lantai 5 tempat kelasnya berada. Masih dengan nafas yang ngos-ngosan, dia membuka pintu ruangan itu.

 
"Assallamu'alaikum, maaf bu, saya terlambat". Ucapnya sambil memasang tampang yang sedikit memelas.

 
Sambil melihat jam yang nangkring diatas whiteboard, perempuan itu memandanganginya "Ya sudah,sana duduk,tapi lain kali kalau lebih dari lima belas menit,tunggu di luar saja"
Fiuhh,terlihat perasaan lega tergambar diraut muka ikhwan itu. Dia pun mengambil posisi duduk di barisan ke tiga dari depan.

 
"Terlambat lagi? Bro kamu tuch tiap pagi ngapain sih?? Bantuin Emak masak?" Suara berbisik dari Rio yang duduk tepat disampingnya.
Dengan gaya kalemnya yang khas, ikhwan itu tersenyum simpul tanpa berkata apa-apa.

                                          000000
Dua jam berlalu, sangat cepat sekali rasanya mata kuliah itu sudah selesai. Sang Dosen pun meninggalkan ruangan itu. Sesosok ikhwan lain memasuki ruangan itu dengan sumringah.

 
"Yaelah, kamu darimana aja? Gak ikut mata kuliah jam pertama" Celoteh Rio lagi.

 
"Aku takut masuk,soalnya terlambat.nih" Ucap seorang ikhwan bernama Aldo.

 
"Ahh kamu cemen amat, tuh si Furqon yang telat gara-gara bantuin Emaknya masak aja tadi berani masuk kelas." Celetuk Rio dengan asal.

 
Sejenak terdengar tawa renyah Furqon, yang mendengar Rio ngomong asal-asalan. Meskipun tawa itu tak terlalu kencang,namun suara tawa itu sedikit menyapa kuping beberapa akhwat yang sedang duduk berkumpul di pojok kelas. Para akhwat itu hanya melirik sebentar lalu meneruskan obrolan mereka.
                                                                 000000
"Eh tahu nggak? Film baru yang judulnya Zafara Dan Ali bagus banget,kemarin aku abis liad ama Very." Ucap Shiva sambil memasuki kelas.

 
"Yahh jahat banget sih ndak ngajak-ngajak nontonnya." Protes 3 orang akhwat yang notabene sahabat-sahabat Shiva.

 
"Maaf ya, kan aku pengen berduaan ama Very." Ucap Shiva sambil tertawa diikuti tawa kecil sahabat-sahabatnya. Sejenak tawa kecil itu sedikit membuat Trio Unyu sekilas memandang empat orang sahabat itu.

 
Entah darimana asalnya persahabatan antara Rio, Aldo dan Furqon dijuluki dengan Trio Unyu. Usut punya Selidik, waktu itu entah kapan tepatnya, ada seorang kakak kelas yang berkumpul dengan teman-temannya di kantin kampus yang sedang mengobrol, tiba-tiba aja dikejutkan dengan kehadiran tiga sosok ikhwan : Rio, Aldo dan Furqon yang sedang mencari tempat duduk kosong di kantin yang lumayan hampir penuh itu. Tiba-tiba aja tuh para kakak kelas yang berjenis akhwat nyeletuk kalimat Trio Unyu, dibarengi paduan suara teman-temannya yang mengiyakan. 


Kenapa Trio Unyu? Sebab mereka bertiga mempunyai pesona khas masing-masing.
 
RIO : Tinggi semampai, rada bule, pinter main musik, berpengetahuan luas, dan religius meskipun terkadang suka ngomong asal yang kadang membuat para teman-temannya ketawa.

 
ALDO : Mukanya ke korea-koreaan. Jago Akuntansi, hobi maen game, religius, tak pernah peduli penampilan. Rambutnya kadang acak-acakan tapi itu yang membuat wajahnya terlihat,natural. Prinsipnya : Tak ada yang setampan Nabi Yusuf. Terkadang prinsip dia membuat sahabat-sahabatnya ketawa juga, kok bisa-bisanya dia punya prinsip seperti itu, yach walaupun ada benernya juga sih.

 
Furqon : Mukanya khas Indonesia banget , kalem, rapi, tiap hari kerjaannya senyum melulu saat ketemu orang lain. Hobi banget baca apalagi buku-buku tentang agama dan hobi nonton film. Mungkin diantara kedua sahabatnya, Furqon merupakan yang paling religius.

 
Entah sejak kapan mereka melabeli pertemanan mereka dengan label "Sahabat". Mungkin karena mereka ikut dalam salah satu organisasi Islam yang sama di kampus. Dan dari sanalah mereka memulai pertemanan mereka yang akhirnya sekarang menjadi sahabat. Yang kemana-mana bareng,berdakwah bareng, diskusi bareng. Bagi orang-orang yang kenal mereka mungkin beranggapan mereka perfect. Tapi tidak bagi mereka, mereka malah menganggap diri mereka banyak kekurangan. Bahkan saat beberapa akhwat bilang perfect, mereka malah dengan berbarengan bilang "Kesempurnaan hanya milik Allah SWT."

                                                                    000000
"Tadi anda menjelaskan bahwa kekuatan perusahaan terletak pada sistemnya yang sangat terorganisir, jadi kalau suatu saat ada gangguan terhadap sistem tadi, kekuatan tersebut menjadi ancaman donk?" Celetuk Nisa terhadap kelompok 5 yang sedang presentasi.

 
Trio Unyu menatap serius pertanyaan Nisa yang ditujukan terhadap kelompok 5. Suasana sangat riuh, disana terjadi saling sahut menyahut antar mahasiswa. Seperti biasa, Furqon hanya tersenyum simpul melihat Nisa yang masih belum puas dengan jawaban kelompok 5.

 
Akhwat yang satu ini bisa dibilang sedikit unik. Parasnya yang kalem namun agak judes, membuat orang yang belum mengenalnya kadang berpikir akhwat ini tidak ramah. Tapi salah, bagi yang sudah mengenalnya seperti teman-teman sekelasnya, Nisa merupakan sosok yang ceria, tak terlalu pendiam, namun tegas. Yah itulah dia, sedikit berbeda dengan sahabat-sahabatnya yakni Shiva, Lusi, dan Indah. Mereka bertiga sangat ceria sekali dalam setiap kesempatan, dan lumayan cuek. Kesamaan diantara mereka berempat adalah bikin suasana jadi rame. Bukan rame yang gimana-gimana, tapi karena mereka hobi sekali mendengarkan musik disetiap tempat.

 
                                                                         000000
Kali ini empat serangkai itu sedang berpapasan dengan Trio Unyu saat mereka menuju Kantin. Saling melempar senyum, itulah yang selalu mereka lakukan.

 
"Trio Unyu mau ke mana tuh?" Bisik Indah.

 
"Tau ahh, tanya aja ke mereka." Ucap Shiva.

 
"Eh, bang Trio Unyu mau kemana?" Suara pelan Indah yang cukup terdengar oleh Trio Unyu, membuat mereka menoleh.

 
"Mau ke fakultas sebelah, nanya pertandingan basket." Jawab Aldo sambil di barengi ekspresi mengerti dari empat serangkai.

 
"Eh kamu tuh kok nambahin kata bang sih ke mereka,emangnya mereka abang tukang bakso?" Ucap Shiva diiringi tawa kecil sahabat-sahabatnya.

 
"Biarin, mereka juga gak marah." Sahut Indah.

                                                                           000000
Hari itu Nisa sangat disibukkan dengan rencana organisasi yang diikutinya untuk mengadakan pertemuan organisasi antar Universitas. Nisa ikut salah satu organisasi Lembaga Dakwah Kampus bersama Indah. Sedangkan Shiva dan Lusi lebih memilih ikut komunitas Manga,karena mereka yang memang hobi gambar. Lain lagi dengan Trio Unyu meskipun sama dengan Indah dan Nisa yang ikut organisasi Islam, namun Trio Unyu berada dalam naungan Gerakan Mahasiswa Islam. Meskipun lain organisasi tapi visi dan misinya sama yakni mengajak semuanya untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya.

 
Tak seperti biasanya Nisa telat. Dia memasuki kelas dengan tergopoh. Suara pintu yang terbuka membuat seisi kelas menoleh ke sumber suara. Dosen yang mengajar pun mempersilahkannya duduk. Tanpa berbicara apapun, Nisa serius menyimak mata kuliah hari ini. Di sisi lain, Furqon hanya melirik sesaat. Nisa merasa ada yang melihatnya, dia pun menoleh, tanpa sengaja mata mereka berdua bertemu.

 
"Astaghfirullahaladzim." Ucap Nisa lirih sambil cepat-cepat kembali menatap whiteboard.

 
Disaat yang bersamaan Furqon beristighfar dalam hatinya. Yaachh saat ini hanya dirinyalah dan Sang Pencipta yang tahu isi hatinya. Sesuatu hal yang tersimpan cukup lama saat ini. Sangat lama hingga aromanya pun tak pernah tercium orang-orang disekitarnya, tak terkecuali sahabat-sahabatnya.
                                                                      000000
 
"Bapak ndak setuju." Suara nada marah Bapak Furqon saat Furqon cerita tentang sosok akhwat yang dikaguminya terhadap Bapaknya. Tak pernah Bapaknya berbicara sedikit keras seperti itu, padahal biasanya Furqon selalu menceritakan apa yang dialaminya dan tak pernah melihat Bapaknya bersikap seperti itu.

 
"Tapi pak, Furqon cuma ingin meminta pendapat bapak saja." Jawab Furqon pelan.

 
"Dia berbeda dengan kita Furqon." Suara Bapak Furqon sedikit melemah.

 
"Berbeda seperti apa pak! Bukankah Islam tak pernah membeda-bedakan ummatnya? Masalah Nu, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir atau yang lainnya itu hanya perbedaan cara berpikir dan cara pandang saja bukan? Yang terpenting masih menjalankan Islam sesuai Al-Qur'an dan Hadist." Furqon berusaha mengemukakan pendapatnya.

 
Setelah perbincangan yang tegang itu, Bapak Furqon meninggalkan dia sendiri di ruang keluarga tanpa berkata apa-apa lagi. Kakak Furqon pun menghampirinya. Sambil menepuk bahu adiknya,


"Sudah Fur, Bapak mungkin lagi banyak masalah, mangkanya beliau berbicara seperti itu, toh tak seperti biasanya Bapak seperti itu."
 
Furqon hanya mengangguk mengerti mendengar kakanya berbicara.

                                                                          000000
 
Di sebuah rumah yang berada disamping rumah Furqon.

 
"Ima tadi ada apa kok suara Pak Hasan terdengar sampai sini?" Tanya Mama Ima.

 
Ima yang agak sedikit gak nyambung pendengarannya, dia pun bilang "Kayaknya Furqon mau dijodohin deh Ma sama Bapaknya tapi Furqonnya gak mau."

 
Esoknya di kampus, Ima yang beda jurusan dengan Trio Unyu sedang makan di kantin. Trio Unyu datang dan memilih tempat duduk paling pojok di kantin. Hampir semua akhwat ngebahas Trio Unyu, Ima pun keceplosan. "Eh tau gak?kalau Furqon mau dijodohin?"

 
Sontak beberapa teman Ima kaget. "Beneran? Terus siapa calonnya?"


"Gak tahu,ntar deh aku cari tahu." Jawab Ima.

 
Semenjak itu, isu itu pun merebak ke penjuru kampus. Tak terkecuali Nisa yang tak sengaja mendengar saat dia mau menyerahkan proposal ke ruang Rektor.

 
"Iya beneran, Furqon mau dijodohin. Dan dia setuju." Celetuk seorang mahasiswi yang duduk di lorong.

 
"Wah, patah hati donk para mahasiswi kampus." Dibarengi suara beberapa mahasiswi yang lainnya.

 
Sedikit ngilu hati Nisa mendengarnya, walaupun tak mendengarnya langsung dari sang empunya. Namun rasanya kalimat yang diucapkan mahasiswi tadi terasa terngiang terus di otaknya.

 
Setiap hari, semua orang di kampusnya ngebahas masalah itu. Dan tiap hari pula Nisa selalu menahan apa yang dirasakannya berusaha berbohong seolah dia tak pernah merasakan ngilu itu. Lain dengan Trio Unyu, entah kuping mereka kayaknya di jaga banget ama Malaikat sehingga berita tentang Furqon tak pernah sampai ke telinga mereka bertiga. Bahkan tak ada seorang pun yang mengkonfirmasi berita itu terhadap mereka sehingga mereka berjalan dengan santainya seperti tak ada apa-apa.

 
Tanpa sengaja Furqon bertemu Nisa disebuah lorong menuju perpustakaan. Niat Furqon ingin mengucapkan salam pada Nisa seolah mulut Furqon terkunci sehingga dia tak berkata apa-apa. Nisa yang sedari tadi menundukkan pandangannya berlalu begitu saja berusaha menahan sesuatu.

                                                                    000000
 
Tak seperti biasanya sepulang kuliah Nisa mampir dulu. Biasanya dia langsung pulang ke rumah jika tidak ada hal yang dia urusin. Tapi kali ini dia pergi ke sebuah tempat yang seolah membuatnya nyaman.

 
"Brruukk" Nisa jatuh diatas pasir pantai, setelah dia berlari-lari dari ujung pantai. Terasa sakit sekali kakinya, padahal pasir pantai itu begitu lembut. Saking lembutnya tak pernah para pengunjung kesakitan ketika jatuh disana. Tapi rasanya kilauan rasa nyeri hati Nisa merembet hingga ke kakinya sampai menyebabkan rasa yang sakit sekali. Nisa meringis, sampai buliran air matanya menetes. Entah seolah Matahari mengetahui kesedihan Nisa, dia pun meredupkan sinarnya, hingga membuat mata Nisa sejenak memejam.

 
Di sisi lain, Furqon masih terus berlari sekencang-kencangnya mengelilingi pantai itu. Mereka berdua tak pernah bertemu, padahal mereka berada di satu tempat yang sama. Seolah ada tembok yang membatasi pantai itu dan membelahnya menjadi dua tempat yang berbeda.
Furqon duduk termenung di pasir yang hangat oleh sinar Matahari yang meredup. Sentuhan lembut memegang pundaknya. Furqon hanya menoleh sekilas.

 
"Hanya dengan ini Imanmu luntur?" Suara Mas Faris kakak Furqon.

 
"Apakah selama ini Imanku luntur mas?" Tanya Furqon.

 
"Kamu tentunya bisa melihatnya sendiri. Lihat ke dalam hatimu Fur." Ucap Mas Faris.

 
"Rasanya nyeri sekali disini mas." Kata Furqon sambil menatap ombak yang damai bernyanyi.

 
"Bukankah kamu tahu, Sesungguhnya Iman dapat menjadi usang dalam (hati) kalian, 


sebagaimana baju bisa usang, maka mintalah kepada Allah agar DIA memperbaharui keimanan dalam hati kalian." Ucap Mas Faris.

Furqon hanya diam membisu. Seolah hatinya sedang berperang dengan sesuatu. "Jodoh ditangan Allah, berusahalah mengikhlaskan, simpanlah cintamu hingga Allah memutuskannya nanti, pikirkan skripsimu dahulu." Nasehat Mas Faris lembut.

Furqon terperangah mendengarnya, liadahnya kelu, "Ya Allah aq harus bagaimana agar hatiku kembali tentram?"
 
Seolah ada yang menjawab pertanyaanya, "Wahai temanku,sabar, lupakah kau akan tujuan hidup yang sesungguhnya? Lupakah akan inginmu? Hakikat cinta yang sesungguhnya? Apa perlu ku ingatkan bahwa cinta yang sesungguhnya itu hanya untuk Allah?Tak rindukah kau menjadi salah seorang Hamba Allah? Menjadi Hamba yang disayangi Malaikat dan Rosul-NYA? Aku tahu hatimu saat ini, sadarkah kau bahwa sosok itu belum halal bagimu? Janganlah kau siksa batin dan fikiranmu..."

 
Setitik melesat rasa damai di hati Furqon, dia mencoba ikhlas. Kakak beradik itu pun beranjak pulang. 


Sesampainya di rumah, "Fur, Bapak minta maaf kalau kemarin kalimat Bapak membuatmu tersinggung, Islam memang tak pernah membeda-bedakan ummatnya, hanya amal perbuatan mereka lah yang nantinya menjadi berbeda di Akhirat."
 
"Ndak apa-apa pak, Furqon yang seharusnya minta maaf, Furqon sudah ikhlas pak." Ucap Furqon lirih.

 
Ibu Furqon memegang lengan Pak Hasan, seolah mengerti, Ibu Furqon berkata "Biarkan dia sendiri dulu pak."

 
"Tapi bu, bapak merasa.............."

 
"Sudahlah pak, sekarang beri kesempatan Furqon bermuhasabah sebentar." Lalu Orang tua Furqon pun berlalu.

 
Di sisi lain, Nisa pun seolah mendengar hal yang sama dengan yang didengar Furqon tadi. Dia pun sekarang merasa sedikit nyaman, dan melangkahkan kakinya kembali ke rumah.

                                                                    000000
 
Entah Allah apakah sedang menguji mereka berdua. Sering sekali Furqon dan Nisa berpapasan. Sehingga membuatnya menahan gejolak hati yang mulai berkecamuk. Sulit memang, tapi usaha yang mereka lakukan benar-benar mereka niatkan untuk menghapus kotoran yang sedang menempel di hati mereka masing-masing.

"Tunggu ukh,," Panggil seorang akhwat hingga menghentikan langkah Nisa, dia pun menoleh ke arah sumber suara.

 
"Afwan, sudah mengagetkan anti. undangan buat LDK antar Universitas sudah sampaikah ukh?" Tanya akhwat itu.

 
"Sudah ukh,kemarin ana sudah dikonfirmasi sama perwakilan penerima undangan". Ucap Nisa.

 
"Alhamdulillah, oya ukh, sudikah anti nanti mau untuk membaca Tilawah di acara besok?". Kata Husna akhwat tadi.

 
"Insya Allah ukh, ana siap anti kasih tugas apapun". Jawab Nisa dengan tersenyum.

 
"Kalau begitu anti nanti baca surat Ar-Ra'd ayat 27-28 ya ukh?" Ucap Husna.

 
Mendengar surat yang disebutkan Husna, Nisa terdiam sejenak. Nisa merasa selama ini dia benar-benar berdosa. "Ukh, anti baik-baik saja?" Tanya Husna mengagetkan lamunan Nisa.

 
"Astaghfirullah, ia ukh ana baik-baik saja." Jawab Nisa. Husna pun berpamitan dengan Nisa untuk pulang.

                                                                    000000

 
Seketika sampainya di rumah, ucapan Husna yang meminta Nisa untuk membaca Surat Ar-Ra'd ayat 27-28 terus terngiang di kepalanya. Entah apa yang ada di pikiran Nisa saat ini, dia hanya duduk termenung didalam kamar sepulang kuliah hingga tanpa sadar ia terlelap.

 
Malam kian larut, tak terasa jam menunjukkan pukul 02.50 WIB. Nisa terbangun dari tidurnya. Segera ia mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Lail.

 
Dengan khusyuk dan tuma'ninah Nisa mengerjakannya. Hati Nisa rasanya tenang sekali. Ia merasa kecil sekarang, merasa selama ini dia berbuat dosa. Zina hati..mungkin itu yang saat ini membuat Nisa menangis memohon ampun pada Sang Pencipta.

                                                                   000000
 
Kau datang ketika duka,dan bintang bercahya tunjukku ke jalan Syurga. Ku haus ditengah laut, lemas mencari tempat berpaut, kirimkan aku kekuatan serta pedoman dikesesatan. Ku sunyi dalam gembira,perih, pedih, tanggung derita. Sungguh aku bukan Nabi yang suci dari hina dan benci. Terlalu lama aku mencoba, terlalu banyak cinta yang ku damba. Tiada yang sempurna hanyalah fana, Tuhan ampuni Hamba-MU. Ku rebah didada malam, memecah dendam yang lama diam. Ku tanggalkan baju dunia, dekapku dengan selimut Syurga. Ya Tuhanku hanya pada-MU, tempat mengadu segala rindu. Limpahi aku Rahmat Kasih-MU dalam tahajjud cinta bersujud....

 
Nisa membiarkan ponselnya tetap menyala, hingga nada dering lagu dari Siti Nurhaliza itu tak berbunyi lagi.

 
Di seberang sana, Furqon melakukan hal yang sama, masih tetap Istiqomah diatas sajadah panjangnya untuk terus bermunajah.

 
"Ya Allah, ampuni Hamba-MU ini. Aku manusia yang tak pernah luput dari dosa. Maafkanlah diriku yang menduakan cinta-MU dengan dia. Dia yang belum halal bagiku. Aku mohon pada-MU, bersihkanlah hatiku, hilangkan bayangannya dari hidupku. Aku tak mau Engkau memalingkan wajah-MU dariku. Ku mohon, jangan pernah tutup pintu Ridho-MU untukku." Airmata Furqon tak kuasa untuk tertahan, malam itu ia tumpahkan semua isi hatinya pada Allah SWT.

                                                                      000000
 
Pagi ini mungkin pagi terakhir bagi mereka untuk bertemu. Karena minggu depan mereka masing-masing akan menjalani sidang skripsinya. Trio Unyu datang pagi sekali, mereka hanya ingin tak pernah terlambat untuk meminta maaf kepada teman-teman sekelas mereka sebelum ujian skripsi berlangsung minggu depan. Sementara mereka sedang asyik mengobrol dengan teman-teman, empat sekawan muncul dari balik pintu. 


"Assallammu'alaikum" Ucap mereka kompak.
 
"Wa'allaikumsalam." Jawab semuanya.

 
Rio dan Aldi segera menghampiri mereka untuk menyampaikan permintaan maaf. Setelah selesai, giliran Furqon sendirian yang menghampiri mereka. Saat dia tiba untuk berbicara kepada Nisa, Furqon pun mengucapkannya dengan suara yang sedikit pelan. Nisa mengangguk dengan pelan juga. Suasana jadi terasa aneh saat mereka berdua tak sadar berdiri mematung berhadapan sambil saling menundukkan pandangan. Seolah ada yang menyadarkan mereka berdua. Nisa pun berbalik meninggalkan Furqon sembari menahan air mata yang ingin keluar. Furqon hanya diam saja melihat Nisa berlalu darinya.

 
"Aku belajar dari debu yang kau tiup tadi." Ucap Furqon lirih..

                                                                     000000
 
Hari Sabtu pun tiba, acara yang dari sebulan lalu direncanakan oleh anggota Lembaga Dakwah Kampus Universitas Islam Surabaya pun dimulai. Diruangan ini banyak sekali yang datang tidak terkecuali Lembaga Dakwah Kampus dari berbagai Universitas lain. Baru memasuki ruangan sudah terasa sekali pemandangan yang menyejukkan. Wajah-wajah para Akhwat Fillah yang berseri, bercahaya karena iman didada mereka. Bahkan ada dari Lembaga Dakwah Kampus yang letaknya cukup jauh dari kota Surabaya yang masih bela-belain buat datang ke acara ini hanya untuk menyambung ukhuwah islamiyah antar sesama pengemban dakwah. Subhanallah luar biasa sekali semangat mereka.

 
Lima menit kemudian, MC acara naik ke atas panggung.

 
"Assallamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ukhti fillah semua." Tanya sang MC.

 
"Wa'allaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh". Jawab semua yang hadir dengan kompak dan bergemuruh. Rasanya hati ini bergetar mendengar jawaban salam dari saudara kita sesama Muslimah.


"Subhanallah semangat sekali, bagaimana kabarnya ukhti fillah?" Tanya sang MC lagi.

 
"Alhamdulillah luar biasa, Allahu Akbar." Jawab mereka serempak.

 
Sang MC dan para panitia penyelenggara tersenyum melihat semangat yang berkobar di ruangan itu.

 
"Syukron ukhti fillah sudah berkenan hadir dalam acara kami pagi hari ini dengan tema : Muslimah Menulis Diatas Pelangi".

 
"Kita sebagai Muslimah tentunya harus bisa menjaga Izzah dan Iffah kita supaya kita semua bisa meraih pelangi kita..yahh pelangi Syurga. Untuk itu marilah kita dengarkan ukhti Farah Khoirunnisa membacakan Surah dari Al-Qur'an berikut ini." Sang MC mempersilahkan Nisa naik keatas panggung.

 
Sementara ditempat lain. Rio kelihatan bingung karena Indra yang hari ini bertugas untuk membaca tilawah dikajian sabtu pagi mendadak tidak kunjung datang. Sementara para hadirin sudah menunggu sejak lama acara ini untuk dimulai. Kepanikan wajah Rio dibaca oleh Furqon. Furqon memberikan isyarat kepada Rio agar dia saja yang menggantikan Indra untuk membaca tilawah. Suasana cerah tergambar jelas diwajah Rio yang sedari tadi mendung karena panik.

"Afwan semuanya, marilah kita dengarkan akhi Muhammad Furqon Rabbani untuk membacakan tilawah, kepada akhi Furqon kami persilahkan." Ucap Rio dengan senyuman simpul.
 
Furqon pun naik ke atas panggung. Sementara itu Rio lupa memberitahu Furqon, surat apa yang harus dibacanya. Aldo dengan cekatan memberi kode kepada Furqon dari bawah panggung untuk membaca surat Ar-Ra'd ayat 27-28.

 
Suasana hening, Nisa mulai membaca tilawah, di sisi lain Furqon pun sedang membaca surat yang sama.

 
"A'udzubillahi minasyaithonirrojiim.. Bismillaahir rahmaanir rahiim".

 
"Wa yaquulul ladziina kafaruu lau laa unzila 'alaihi aayatum mir rabbihii qul innallaaha yudhillu may yasyaa-u wa yahdii ilaihi man anaab”.

Alladziina aamanuu wa tathma-innu quluubuhum bi dzikrillaahi alaa bi dzikrillaahi tathma-innul quluub..."
 
Sejenak mereka berhenti, menghembuskan nafas pelan...

 
"Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".

 
"Orang-orang kafir berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya ayat (mukjizat) dari Tuhan nya?" Katakanlah, "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-NYA dan Dia menunjuki orang-orang yang kembali (taubat)"...

(yaitu) orang-orang yang beriman,dan hati mereka menjadi tentram bila mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram."
 
Mata mereka berdua pun terpejam. Mereka merasakan ayat-ayat itu mengalir ke darah mereka.

 
"....Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram".

 
"....Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram".

 
"....Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram".

 
Penggalan surat Ar-Ra'd ayat 28 itu terus terdengar berulang-ulang di hati mereka. Tanpa tersadar air mata mereka berdua menetes bersamaan. Mengalir di pipi mereka, hingga menetes diatas Al-Qur'an yang mereka baca tepat diatas rangkaian ayat Surat Ar-Ra'd : 28 . Tak ada angin yang berhembus tiba-tiba saja satu persatu kertas dari Al-Qur'an tersebut bergantian bergerak.. Dan seketika Al-Qur'an itu menutup dengan sendirinya.

 
Mata Furqon dan Nisa masih terpejam. Setitik ikhlas kini menyibak sanubari mereka... 


Mengendap dalam ujung segumpal darah yang dingin itu.. Sangat jauh.. Amat jauh.. Jauh sekali disana...
 
Ketulusan itu sekarang bercahaya... Selalu bercahaya dan membuat mereka terus berdiri dalam timbunan perih... Perih yang indah,, seindah ganjaran yang sedang menanti mereka disana... Tempat dimana Rasulullah bersama para Sahabat sedang melihat ikhlas di dalam hati mereka berdua...





Nb : Cerita ini saya buat sudah lama. Cerita yang paling banyak revisinya waktu aku tulis dulu. Copy paste diizinkan asalkan mencantumkan sumbernya.....

Read More......
Kamis, 14 Juni 2012 Posted in | | 0 Comments »
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------