Selalu Ku Rindukan Suaramu, Ukhti…

Kereta jurusan Yogyakarta-Surabaya tiba di Stasiun terlambat sekitar 5 menit dari jam kedatangan kereta yang telah ditentukan. Kami berdua masih berdiri menghadap badan kereta yang sedikit renta itu. Tak lama kemudian muncullah sesosok gadis mengenakan pakaian coklat dan celana hitam membawa seabrek bawaan. Dia tersenyum sembari berlari kecil menghampiriku.


"Makasih ya Mbak uda mau jemput aku kesini." Ucap Dizka sambil memelukku.

Dizka adalah anak salah satu tetangga Nenekku yang tinggal di Jogja. Herannya, dia malah memilih berkuliah di Surabaya denganku daripada di Jogja yang jelas-jelas kota Pelajar. Alasannya sih ingin mandiri. Alhasil Budhe Yati, ibunya menitipkan Dizka padaku untuk berkuliah di Kampus yang sama denganku. Walaupun aku sendiri disini ngekost, aku pun berusaha menjaga amanah dari Budhe Yati.

Aku memperkenalkan Farah pada Dizka. Dan kami pun membantu Dizka membawa barang-barangnya.

000000

"Ini kamarmu dek." Ucapku memperlihatkan sebuah kamar yang terletak tepat didepan kamarku.

"Hmm, nyaman juga kamarnya Mbak." Ucap Dizka sambil memperhatikan desain interior kamarnya.

"Kalau perlu apa-apa, bilang aja ama kita berdua ya dek, didepan kamarmu itu kamarnya Asma, disamping kamarnya Asma, itu kamarku." Ucap Farah.

"Iya Mbak, senang deh bisa kenal Mbak Farah juga." Ucap Dizka kemudian.

Aku dan Farah segera meninggalkan Dizka dari kamarnya. Membiarkannya mengistirahatkan badannya setelah perjalanan jauh.


00000
Kami bertiga pun mulai dekat sebagai sahabat. Kami sering pergi bersama walaupun terkadang Dizka jarang ikut karena jadwal kuliah kami yang tak sama. Aku dan Farah telah menginjak semester empat sedangkan Dizka masih semester satu. Tapi itu tak menjadikan halangan bagi kami untuk tetap berkumpul saat di kost.

Hingga pada suatu hari, tepatnya hari minggu. Biasanya tiap hari minggu pagi kami bertiga ikut Car Free Day di dekat Kampus. Tapi kali ini saat aku dan Farah menuju kamar Dizka, kami mendapati kamarnya terkunci. Kami pikir mungkin dia tidur, akhirnya aku dan Farah hanya berdua saja mengikuti Car Free Day hari ini.

Seusai Car Free Day, kami berdua kembali mengetuk pintu kamar Dizka.

"Dizka tadi pagi sekali pergi, ndak tau kemana, bilangnya ada acara gitu di daerah Ketintang." Ucap Indi salah satu penghuni kost lain.

"Ouw, lha dia pergi ama siapa? Dia kan belum tahu jalan daerah sini?" Ucapku cemas.

"Tadi boncengan ama temannya cewek kok." Jawab Indi sambil berlalu.

"Udah tenang aja Ma, mungkin dia kerja ingin maen sebentar. Lagian juga dia ama teman cewek kan, mungkin dia gak sempat pamit ke kita." Ucap Farah menenangkanku.

Sekitar pukul 10.00 pagi, saat aku dan Farah sedang santai di taman belakang kost. Dizka datang menghampiri kami.

"Udah pulang Dek?" Tanya Farah.

"Udah Mbak, maaf ya Mbak, Dizka ndak pamit ama Mbak Farah dan Mbak Asma. Aku pikir Mbak masih tidur." Jawab Dizka menjelaskan pada kami.

"Ndak pha-pha kok Dek, emang abiz darimana?" Tanyaku kemudian.

"Dari Ketintang Mbak, ada mentoring." Jawab Dizka.

"Mentoring apa emangnya?". Tanya Farah lagi.

"Mentoring ama Mbak Atiqah."

"Atiqah? Atiqah siapa?" Farah heran.

"Atiqah Hafizah, aku abiz diajak kajian ama dia Mbak, bareng 3 orang teman sekelasku." Cerita Dizka.

"Kajian? Kamu ikut kajian?". Tanyaku dengan kaget.

"Hu.um Mbak, seru deh Halaqahnya." Jawab Dizka singkat.

"Kamu kenal Atiqah dimana Dek?" Tanya Farah.

"Di Masjid Mbak, kamis kemarin abis selesai sholat Dhuhur. Waktu aku ama tiga orang temanku sedang duduk diteras Masjid, ada Mbak Atiqah, terus kami diajak ikut halaqah hari minggu. Setelah dijelasin sama Mbak Atiqah, kami pun bersedia." Jelas Dizka pada kami.

Aku hanya bengong melihat Dizka dengan antusiasnya menceritakan hal itu pada kami. Aku tak menggubrisnya, hanya Farah yang serius mendengarkan Dizka.

Aku masih enggan mendengar hal ini lagi. Mataku nanar menatap senyuman Dizka. Kosong....


00000

Semenjak Dizka mengikuti halaqah dan semenjak Dizka masuk menjadi anggota Rohis di Kampus, Dizka sering sekali pulang sore. Entah untuk urusan rapat, kumpul anggota, dan lain sebagainya.


00000

Hari ini Dizka pulang siang. Ada yang berbeda dari diri Dizka antara pagi tadi dan siang ini.

"Kamu pakai rok Dek?". Celetuk Farah sambil memainkan remote televisi.

"Iya Mbak." Jawab Dizka dengan tersenyum.

"Bukannya tadi pagi kamu pakai celana?" Tanya Farah.

"Iya, ini aku dipinjemi Mbak Atiqah. Tadi di Masjid Mbak Atiqah berbicara tentang aurat wanita. Terus aku bilang ke Mbak Atiqah kalau aku gak punya rok. Terus Mbak Atiqah ambil rok dilemari sekret Rohis buat aku. Katanya itu rok nya Mbak Atiqah, emang sengaja Mbak Atiqah dan teman-temannya menaruh beberapa rok disitu, siapa tahu suatu saat ada yang membutuhkannya." Jelas Dizka panjang lebar.

"Ooohhh." Jawab Farah singkat.

"Aku uda bertekad buat beli gamis dengan uangku sendiri Mbak. Aku juga janji ama Mbak Atiqah, Insya Allah secepatnya aku akan mengembalikan rok-rok yang aku pakai ini nanti setelah aku bisa punya gamis sendiri. Yah meskipun aku harus mengurangi uang jajanku tapi gak pha-pha pasti ada jalan kok kata Mbak Atiqah. Ucap Dizka sambil berlalu.

Aku tersenyum sinis. Masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Luka lama itu kini terkuak kembali. Luka yang seharusnya aku tutup rapat-rapat tapi kini dengan paksa, ia terbuka lagi.

Luka itu... Membuat hatiku diselimuti kebencian. Kebencian yang teramat sangat.. Aku benci... Sangat benci...


00000

Setiap hari aku melihat Dizka memakai pakaian itu. Pakaian yang katanya pakaian bidadari-bidadari Syurga. Ahh apalah namanya itu, aku tak peduli. Semakin sesak disini.. Didadaku.. Ingin rasanya aku merobek gamis itu.


000000

Hari ini Dizka menemuiku yang sedang duduk sendiri menonton televisi di ruang tengah.

"Mbak, hari ini ada Liqo sabtu pagi di Kampus, buat Ikhwan dan akhwat. Ikut yuk, daripada bengong sendiri disini." Ucap Dizka.

"Ndak ahh males." Jawabku sekenanya.

"Daripada liad tivi, mending ikut Liqo, gratis kok Mbak. Dapat pahala juga." Ucap Dizka lagi.

"Nggak Dek. Aku males ketemu orang-orang munafik macam mereka. Yang bisanya koar-koar atas nama kebaikan dan Dakwah. Tapi kenyataannya munkar." Jawabku Ketus.


Dizka hanya tersenyum mendengar ucapanku.


"Ya sudah, lain kali kalau Mbak mau ikut Liqo mingguan, hubungi aku ya Mbak. Aku pergi dulu, Assalamu'alaikum." Pamit Dizka sambil berlalu. Aku hanya menjawab salam itu dalam hati saja. Sambil masih mengingat hari itu.

00000

Hari ini, aku ingin berjalan-jalan sendirian saja. Aku memasuki salah satu Cafe disebuah Mall yang tak jauh dari Kampus kami. Aku pun menuju kasir untuk memesan menu. Tanpa disadari, disampingku telah berdiri seorang pelanggan wanita. Sosoknya begitu aku kenal. Bagaimana tidak? Kami pernah berteman, bahkan pernah bersahabat selama dua tahun.

Atiqah Hafizah....

Yahh dialah Atiqah mantan sahabatku dulu yang sekarang jadi mentor halaqah Dizka. Mantan sahabat? Rasanya aku tak pernah mendengar istilah itu.

Dia tersenyum padaku ketika mengetahui aku berdiri bersebelahan dengannya.

"Asma.. Mau pesan juga?". Tanyanya sambil tersenyum, sama persis saat aku masih menjadi sahabatnya dulu. Mungkin dia masih menganggapku sahabat, tapi akulah yang pelan-pelan menghindarinya.

"Iya." Jawabku dengan sedikit senyum yang aku paksakan.

"Duluan ya Ma, Assalamu'alaikum." Ucap Atiqah berpamitan denganku.

Senyumnya masih tertinggal disini. Aku melihat punggungnya berlalu. Bias cahaya pakaiannya yang berwarna hijau mengingatkanku.

"Wah, kita samaan hari ini ya Ma, pakai gamis warna hijau. Warna kesukaan Rasullullah." Ucap Atiqah dua tahun lalu saat kami bertemu di lorong Masjid. Yahh semenjak hari itu kami sering memakai gamis berwarna hijau.

Aku tersadar dari lamunanku saat salah seorang kasir menanyakan pesananku.


  00000

Sekembalinya dari Cafe, aku bertemu Dizka di teras depan Kost. Aku lihat dia terburu-buru.

"Mau kemana Dek?" Tanyaku.

"Rapat buat Seminar minggu depan Mbak." Jawab Dizka.

"Acara Rohis?". Tanyaku lagi sembari diiringi anggukan kepala dari Dizka.

"Nih, ada roti isi dan minuman. Tadi Mbak emang beli banyak buat penghuni Kost. Pasti kamu belum makan.

"Makasih Mbak". Ucap Dizka menerima pemberianku sambil pamit menuju Kampus.

Bayangan Dizka semakin jauh meninggalkanku. Aku melihat kesungguhan itu di diri Dizka. Senyumnya yang tak pernah lelah menggapai jalan Allah.

Luka itu menyapa lagi..

"Kenapa kamu tak pernah bilang padaku kalau kamu akan menikah dengannya?" Tanyaku pada Rizal sambil memegang sebuah undangan. Undangan yang tertulis nama Rizal dan Husna kakak kelasku di Rohis.

"Afwan Ma." Jawab Rizal kemudian.

"Kau yang dulu berjanji padaku untuk menungguku selesai kuliah." Ucapku lagi dengan suara bergetar.

"Aku memang salah, tak sepantasnya aku berjanji seperti itu. Aku sadar, seorang Muslim tak seharusnya berjanji seperti itu terhadap yang bukan mahramnya." Jawab Rizal lagi.

"Tapi tak harus dengan Mbak Husna juga Mas." Ucapku sambil meninggalkan Rizal.

Aku menangis waktu itu. Yahh menangisi hidupku yang tak pernah berhenti dari masalah. Mulai dari teman-teman yang menjauhiku karena ikut Rohis, sampai Mas Rizal yang memilih orang lain sebagai teman hidupnya.

Kekesalanku semakin menjadi ketika Mbak Husna lah yang menjadi pendamping hidup Mas Rizal. Mbak Husna adalah kakak kelasku yang juga ikut Rohis, sedangkan Mas Rizal juga kakak kelasku yang masuk menjadi anggota Rohis. Aku pikir semua anak Rohis baik tapi nyatanya seperti ini. Menikamku. . . .

000000

Munafik..…Pengemban Dakwah tak sepantasnya seperti itu. Apa yang mereka sampaikan hanya omong kosong. Mengumbar dengan judul kebaikan tapi semuanya Nihil.

"Sudah, sudah. Seharusnya kamu bersyukur, Mas Rizal mau mengakui kesalahannya. Dia khilaf seperti itu." Ucap Atiqah menenangkanku.

"Buat apa dia ikut Rohis, kalau kelakuannya seperti itu." Jawabku kesal.

"Mas Rizal gak selamanya salah Ma. Dia berjanji padamu saat hatinya tertutup oleh syetan dan Mas Rizal segera tersadar kan? Lantas mengambil jalan itu. Kamu juga salah, tak seharusnya dulu kamu terlena oleh janji Mas Rizal. Istighfar Ma, beruntung Allah telah menyadarkan kalian berdua." Ucap Atiqah lagi.

"Tapi kenapa harus Mbak Husna?" Tanyaku sambil terus menangis.

"Itu berarti, Allah telah menakdirkan Mbak Husna dengan Mas Rizal. Ingat Ma, kita semua berada dalam satu ikatan. Mas Rizal, Mbak Husna, aku, kamu dan teman-teman lainnya di Rohis berada dalam ikatan persaudaraan. Tak seharusnya kita membenci saudara kita sendiri." Jelas Atiqah panjang lebar.

"Bilang aja kamu ngebela mereka. Kamu sama saja sama teman-teman Rohis yang lain. Munafik.. Aku benci kalian semua." Ucapku sambil meninggalkan Atiqah.

"Asma.. Asma..." Teri
a
kan Atiqah tak membuatku urung pergi dari sana.

Semenjak hari itu, aku tak lagi bergabung dengan Rohis dan semenjak hari itu aku meninggalkan sahabatku. Atiqah....

Lamunanku tersadar saat aku teringat bahwa aku tadi ingin memberikan roti pada Farah. Aku pun menuju ke kamarnya. Tak ada siapa-siapa. Begitu berantakan sekali kamar ini. Aku menuju meja kecil yang berada disamping tempat tidur. Aku meletakkan bungkusan roti itu disana.

Kakiku menyenggol sebuah benda saat aku ingin pergi dari sana. Sebuah kaset VCD yang aku rasa milik Farah. Aku baca tulisan yang tertera di VCD itu.





"Nasyid Rohis SMA Harapan"

Aku membaca lagi tulisan disampulnya.

Anggota :
1. Adira Rahma
2. Suci Fitri
3. Farah Adawiyah
4. Tyas ningrum Dewi

Sosok Farah ternyata sudah ada dibelakangku. Dia segera mengambil VCD yang berada ditanganku.

"Kamu dulu ikut Rohis?" Tanyaku.

"Yahh, sebelum ada aroma penghianatan disana.” Ucapnya menerawang

Aku diam, masih bingung dengan kalimat yang diucapkannya.

“Sebelum Tyas meninggal saat berboncengan dengan kakak kelasku di Rohis, dengan gampangnya dia bilang tidak bersalah, padahal jelas-jelas dia yang membuat Tyas terjatuh dari motornya. Aku benci dengan kebohongannya, aku benci semua anak Rohis!! Kau pun begitu kan Ma? Kau juga benci kan ama anak Rohis? Aku melihat kebencian itu di matamu Ma. Sorot kebencian itu begitu jelas terpancar saat kau melihat Dizka." Ucap Farah sambil menahan airmata.

Aku pun gamblang mendengar apa yang diucapkan Farah tadi. Sambil berlalu, batinku mulai tak karuan. Aku yakin, di hati Farah tersimpan kerinduan. Kerinduan terhadap hal itu. Aku melihat itu di alunan suaranya yang bergetar saat menceritakannya.

Aku tersentak kemudian, tanganku mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Semenjak waktu itu, aku tak lagi berpakain sempurna menutup aurat seperti dulu. Kerudung lebar, baju longgar dengan bawahan rok lebar atau menggunakan terusan seperti gamis. Aku memilih menanggalkan itu semua dan mulai memakai kerudung pendek, baju ketat dan bawahan celana ketat. Aku berusaha memendam kebencianku dengan melampiaskan kemarahanku terhadap diriku sendiri yang akhirnya malah membuatku tersiksa…

Batinku tersiksa, tersiksa menyaksikan mereka yang masih Istiqamah di jalan-Nya. Walaupun mereka mempunyai masalah yang lebih besar dan lebih rumit dariku tapi mereka tetap bertahan.

Sedangkan aku? Segini saja aku menyerah?? Astaghfirullah.. Ampuni aku Ya Allah... Aku belum siap jika hari ini Engkau memanggilku...

Tanganku bergetar mencari sebuah contact. Aku masih menyimpannya, masih menyimpan sebuah nomor itu meskipun telah lama aku melupakannya.

"Assalamu'alaikum." Nada suaraku bergetar begitu nomor itu tersambung.

"Wa'alaikumsalam." Suara lembut itu masih seperti dulu.

Aku terdiam lama tak bersuara.

Asma Adibah

Seharusnya aku menjadi wanita beradab yang lantang menyuarakan kebenaran seperti arti dari namaku.

Aku masih tetap terdiam, tak berani berbicara.

"Asma. . . . ". Suara diseberang sana terdengar.

Aku tercekat,, Dia mengingatku? Masih mengingatku?
Sahabatku...
Ternyata dia tak pernah meninggalkanku, bahkan tak pernah melupakanku.

Aku berucap dengan suara bergetar sambil menahan airmata.


"Atiqah... Ak-akuu, akuu.. Aku ingin kembali..."




Nb : Kritik dan saran buat karya ku yang ini monggo...



Read More......
Senin, 26 November 2012 Posted in | | 0 Comments »

Read More......
Senin, 19 November 2012 Posted in | | 0 Comments »
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------