SECERCAH KESEDERHANAANMU


Ku sandarkan tubuhku di sebuah benda berwarna ungu tua disudut kamarku, didepan meja kerjaku. Yach dia lah kursi kesayanganku yg tak pernah protes saat aq merebahkan tubuhku.

Ri,
taukah kau? Dua minggu lagi buku perdanaku akan terbit. Aku senang sekali,akhirnya impianku untuk menulis sebuah buku terwujud. Ingatkah dulu saat aku sering sekali mengcopy paste file cerpen-cerpen karyaku ke flashdiskmu juga flashdisk teman-teman kampus kita? Dengan pedenya aku melakukan itu? Dengan harapan, kalian semua sejenak meluangkan waktu untuk membaca karyaku. Beberapa dari kalian mencoba membacanya, bahkan ada beberapa juga yang ogah-ogahan membacanya karena memang mereka tak hobi membaca. Tapi tak apa, yang penting aku sudah mencobanya. Hari itu mereka mengatakan "bagus" terhadap karyaku tak terkecuali kamu. Senang rasanya, itu memotivasiku untuk terus berkarya.

Malam ini ulang tahunmu, aku merasa hari ini kamu hadir disini. Walaupun itu hanya asaku yang tak terbalas olehmu. Tapi tak mengapa, toh aku tetap senang. Aku tetap merayakan ulang tahunmu dengan mendoakanmu.

Aku berencana mensisipkan tulisan tentangmu ini di halaman depan buku perdanaku. Supaya semua orang bisa belajar darimu.

OOOOOO

Hari ini seperti biasa sosokmu yang terbilang cool itu muncul di ruang kelas yang telah ramai dengan penghuni. Seperti biasa hari ini merupakan hari keramat bagi kita semua. Bukan karena malam jum'at tapi karena hari ini dua mata kuliah sama-sama akan menyambut kita dengan presentasi yang telah kita siapkan seminggu yang lalu. Dan seperti biasa saat giliranmu mempresentasikan tugasmu, kamu selalu memukau setiap orang yang hadir di situ, bukan karena tampangmu tapi karena kepandaianmu dan kesederhanaanmu menyampaikan materi presentasi yang telah kamu siapkan.

" Za, aku pinjam materi mata kuliah Pak Hasan donk ". Katamu mengagetkanku.
" Astaghfirullah, bisa ndak sih kamu ngomong didepanku? Jangan dibelakangku gini? Ngagetin aja ". Kataku seraya berbalik memandangmu.
"Sorry Za," Sambil tersenyum kamu mencoba membuatku tak marah.


Yah, seperti itulah kamu yang selalu membuat semua orang yang mengenalmu senang berteman denganmu. Setiap kali kita semua butuh bantuanmu, kamu adalah orang pertama yg mengajukan dirimu untuk membantu kita. Tak terkecuali urusan hidup. Bukan karena kita menyerahkan hidup kita padamu tapi mencoba bercerita tentang kegundahan hati kita terhadapmu, tak terkecuali aku yang mungkin selalu merepotkanmu dengan curahan hatiku yang tak penting itu padamu. Dan selalu menceritakan masalah yang sama terhadapmu. Tapi kamu tak pernah mengeluhkan apa-apa yang aku utarakan. Justru dengan bijaksana kamu menasehatiku, dengan sabar mendengar keluhanku. Aku senang sekali punya teman sepertimu.


Pagi ini kamu ceria sekali, tak seperti biasanya kamu tertawa terbahak-bahak seperti ini ketika mengobrol dengan beberapa teman laki-laki di kelas kita. Entah kenapa aku terus memperhatikanmu, baru pertama kali ini aku melihatmu seceria itu, rasanya berbeda saja seperti biasanya. Padahal biasanya kamu hanya tersenyum, tapi kali ini saat salah satu teman kita melucu didepanmu, kamu pun tertawa seperti itu.

Siang ini rasanya aku malas pergi kemana-mana. Biasanya libur begini, aku main ke rumah saudaraku. Termenung di dalam rumah tanpa ada yang bisa aku lakukan. Sejenak ponsel ku berbunyi. Aku cari suara itu di kamarku tapi benda yang aku cari tak kunjung aku lihat wujudnya. Selalu seperti ini, aku lupa menaruhnya dimana. Suara itu berhenti, tapi sesaat berbunyi lagi. Arrrggghh ini dia, ternyata aku taruh diatas meja makan. Tertera nama Echa sahabatku di layar ponsel.

"Assalamu'alaikum, ada apa cha?" Tanyaku pada Echa.

Echa berbicara dengan suara yang sangat tidak jelas, nada suaranya sengau seperti orang yg nangis.

" Cha, ngomong apa sih kamu? Kamu nangis Cha? Kamu kenapa Cha? Bertengkar lagi ama Billy?" Akupun memberondong dengan banyak pertanyaan yang satu pun belum sempat dijawab Echa.

" Bukan itu Za,, Ri,, Za,, Rizal " Sambil sesenggukan dia bicara padaku.

" Rizal? Ada apa dengan Rizal?" Tanyaku menyelidik.

" Rizal meninggal Za, barusan 5 menit yang lalu, aku tadi di telpon si Billy ". Suaranya yang parau berusaha menjelaskan padaku.

Terkaget aku mendengarnya. Sungguh tak percaya, padahal baru kemarin aku melihatnya tertawa bareng teman-teman dikelas.

" Za.. Zaneta, kamu masih disitu kan? Aku mau berangkat ke rumahnya Rizal, kamu langsung kesana ya! "

Pembicaraan di telpon itu pun berakhir, segera kuambil kunci motorku dan segera kupacu laju motorku menuju rumah Rizal. Di jalan tanpa hentinya air mataku mengalir deras. Sangat sakit rasanya ulu hatiku saat ini. Campur aduk perasaanku hari ini, tak bisa kujelaskan.

Sampailah aku di depan rumah Rizal. Sudah banyak pelayat disana tak terkecuali para teman-temanku. Lemas kakiku saat memasuki rumahnya sampai daun pintu ruang tamu sengaja aku pegang dengan gemetar. Echa menghampiriku, menuntunku pada sosok yang terbujur kaku tak jauh dari ambang pintu.

Aku menghampiri dua sosok wanita yang tersedu-sedu disampingmu. Aku menyalami mereka. Mereka pun memelukku. Sejenak Echa berkata " Za, itu ibunya Rizal, dan yang itu Dina adiknya Rizal." Sambil bergantian Echa, menunjukkan dua wanita berkerudung itu kepadaku.

Ku lihat, di wajah mereka berdua tergambar jelas rasa kehilangan yang amat dalam. Terlihat sebagai orang yang kehilangan sosok putra dan kehilangan sosok kakak tentunya. Aku tak berkata apapun, kuambil buku Yasin yang terkumpul di meja kecil yang berada disebelah kananku. Kubaca, hingga hatiku merasa sedikit tenang. Air mata ini masih saja menetes, tanpa bisa aku hentikan. Suasana duka sangat terasa sekali disebuah ruangan yg cukup besar ini. Sesekali kulihat wajahmu Ri, tersirat kedamaian disana. Bercahaya.. Sinar itu terpancar di raut wajahmu. Subhanallah, kamu kembali pada-NYA dengan Khusnul Khotimah. Batinku terasa sedikit terobati melihat damainya wajahmu.

Prosesi berjalan dengan lancar, sampai pada waktunya jasadmu dibawa ke peristirahatanmu yang terakhir. Sementara para laki-laki mengantarkanmu. Para perempuan tetap duduk di ruang tamu rumahmu. Sosok wanita yg lembut itu mulai berbicara pada para perempuan yang duduk di ruang tamu itu.

" Assalamu'alaikum, terimakasih semuanya sudah berkenan untuk ber takziyah kesini, sebelumnya saya meminta maaf jika saya tidak memperhatikan para tamu satu per satu karena saya memang masih dalam keadaan berduka." Ibumu mencoba menyapa para pelayat.

" Jujur saya sangat kehilangan sekali, Rizal itu anaknya baik, ibadahnya rajin, sholeh sekali, tak pernah membantah orang tua. Tapi ternyata sekarang Sang Maha Kuasa mengambilnya dari saya. Saya mencoba ikhlas, karena memang nantinya semua pasti kembali pada-NYA. Padahal dia tidak sakit apa-apa. Dia sempat sholat Dzuhur tadi, setelah itu dia rebahan dikursi itu." Sambil menunjuk sebuah kursi di sudut tangga.

" Tak lama setelah itu, saya membangunkannya untuk menawarinya makan siang, tapi dia mengatakan hanya ingin Ayah dan Adiknya berada disitu.Segera saya berteriak memanggil Ayah dan Adiknya. Dia tersenyum melihat kami berkumpul, dia meminta kami membimbingnya. Meski begitu saya tetap bersyukur, Alhamdulillah dia kembali dalam keadaan Khusnul Khotimah sambil melafadzkan La Illahailallah." Ibumu berusaha tegar sambil menjelaskannya.

Beberapa orang berusaha menenangkan Ibu dan Adikmu yang masih meneteskan air mata. Tak berapa lama kemudian, Ayahmu dan beberapa orang lelaki yang mengantarmu tadi telah kembali ke rumahmu. Aku, dan teman-teman sekelasmu pamit untuk pulang. Kusalami Ibu, Adik dan Ayahmu.

" Yang namanya Zaneta yang mana?" Ibumu bertanya.

" Saya bu, ada apa ya bu?" Jawabku.

Ibumu menyodorkan secarik kertas berwarna ungu muda tanpa amplop kepadaku.

" Nak, ada titipan dari Rizal buat kamu, nanti dibaca ya di rumah" Sambil memeluk erat, beliau memelukku. Erat sekali.. Setetes cairan hangat menetes dipundakku. Ibumu menangis dipelukanku. Aku merasa tenang sekali. Segera setelah itu, aku dan teman-teman pamit untuk pulang.

Sesampainya dirumah, aku membaca surat darimu.


" Assallamu'alaikum. Za, aku minta maaf ya kalau aku punya salah ama kamu. Kamu jangan marah-marah lagi ya kalau aku ngagetin kamu. Za.. Maaf ya kalau aku sering ngerepotin kamu yang selalu pinjem buku catatanmu. Tetap jadi Zaneta yang aku kenal ya, yang selalu ceria, dan tetap Istiqomah yah dijalan Dakwah. Za.. Sampai kapanpun, kamu jangan lupain aku ya, tetap anggap aku jadi temanmu untuk selamanya. Wassallamu'alaikum Wr.Wb"

Muhammad Rizal Adista Rahman.


000000

Basah.. Air mataku menetes di atas suratmu. Rasanya aku ingin melihatmu mengagetiku lagi. Tapi, semuanya sudah berakhir. "Ya Allah, berikan tempat terbaik di sisi-MU untuk Rizal temanku". Ku tutup suratmu dan kusimpan disebuah kotak kecil di sudut meja belajarku.

000000

Dua tahun sudah berlalu. Aku tetap nyaman dengan pekerjaanku sebagai salah satu sekretaris di sebuah perusahaan jasa Pariwisata. Alhamdulillah, berhijab tak menjadikan penghalang perusahaan untuk tetap mempekerjakanku. Dan aku masih tetap menjalankan hobi menulisku di sela-sela pekerjaanku.

000000

Seperti biasa, taman ini menjadi tempat favoritku untuk melepas penat seusai pulang dari kantor. Sore ini aku memilih tempat duduk dengan meja di depannya.

Sore ini, aku akan menyelesaikan kata pengantar bukuku yang akan terbit nanti. Konyol sih, justru kata pengantar aku selesaiin belakangan. Sembari melihat para pengunjung taman yang ramai, aku menyeruput minuman yang aku beli tadi. Tiba-tiba ada seorang gadis menghampiriku.

" Assallamu'alaikum, mbak Zaneta ya?" Dengan mata berbinar dia menyapaku.

" Wa'allaikumsalam, iya, maaf, siapa ya?" Aku balik bertanya. Dalam hati aku berpikir, sepertinya aku pernah bertemu dengan anak ini.

" Wah mbak Za, tambah cantik ya. Lama ndak ketemu ya mbak, mbak masih ingat aku? Aku dina mbak, adiknya mas Rizal." Sambil memelukku dia mengucapkan kalimat itu.
" Astaghfirullah haladzim, maaf dik, mbak agak lupa,lama ndak ketemu soalnya." Begitulah kalimat yang aku ucapkan pada Dina, saat dia mengucapkan nama Rizal,aku langsung teringat padamu. Bagaimana tidak, sampai sekarang aku masih mengingatmu.

" iya mbak, ndak apa-apa. Mbak ngapain disini?".
" Penat dik abis pulang kantor, kamu sendiri?".
" Main mbak sama teman-teman,oia mbak,aku boleh cerita sesuatu?"
" iya, cerita aja dik."

" Mbak,maaf sebelumnya aku cerita ini, tapi emang dari dulu aku pengen cerita mbak. Ini tentang Mas Rizal. Mas sebenarnya suka sama mbak."

Terkaget aku mendengarnya, Dina pun melanjutkan ceritanya.
" Dulu pas aku cerita tentang orang yang aku suka ke mas, aku tanya mas."

" Mas,aku kan uda cerita,sekarang mas donk cerita siapa yg mas suka." Sambil membuka salah satu akun jejaring sosial Mbak Za, lalu akun itu ditunjukkan padaku,terus aku bilang " Wah cantik ya mas."

"Bukan karena cantiknya dik, tapi lebih karena akhlaknya yang sholehah. Dia baik, rajin, aktif di rohis kampus, dia juga ramah pada siapapun,yang terpenting dia bisa menjaga kehormatannya sebagai seorang wanita, tapi kemarin dia marah-marah dik ama aku soalnya aku kagetin dia."

terus aku bilang "Mas juga sih,uda tau gitu masih aja dikagetin."

"Mas kan cuma berusaha menahan pandangan dik, kalau mas langsung bicara di hadapan dia,mas takut gak bisa jaga pandangan mas, kan kita berdua bukan mahram." Gitu mbak kata mas,terus aq bilang lagi "Iya juga sih mas, terus kapan mas ungkapin?."

"Nanti suatu saat."
"Yah, iya nanti kalau jodoh mas, kalau enggak?"
"Allah yang nentuin jodoh kita, kalau memang suatu saat kita jodoh, kita pasti dipertemukan sebagai pasangan yang halal tapi kalau memang suatu saat kita gak jodoh,mas berharap masih bisa dipertemukan dengan dia sebagai saudara sesama Muslim. Mencintai dalam diam itu lebih indah adikku sayang."

"Hehe iya mas."

"Gitu mbak mas dulu cerita ke aku. Lha surat yang waktu itu dikasihkan Ibu pada mbak Za, ditulis Mas Rizal sebulan sebelum hari itu" Sambil tersenyum Dina bercerita padaku.

Aku tak bisa berkata apa-apa mendengar ceritanya.
"Oh ya mbak,aku kesana dulu ya, mereka uda manggilin aku daritadi." Sambil tersenyum Dina pamit dari tempat dudukku.

Kulihat senyum ceria Dina saat berkejaran dengan teman-temannya. Terasa sakit lagi ulu hatiku setelah sekian lama. Rasaku padamu dulu sempat berusaha aku lupakan saat kita masih menjalani hari-hari sebagai teman sekelas. Lama aku mencoba melupakan, dan aku berhasil. Tapi hari ini, aku tahu satu kenyataan. Kenyataan yang tak pernah aku duga sebelumnya. Ternyata kamu memiliki rasa itu. Sejenak kembali lagi air mataku menetes, tapi aku bersyukur, Allah memberikan banyak pelajaran bagiku untuk belajar menjaga hatiku.

000000
Suara lagu dari Opick dari ponselku mengagetkanku yang sedang menonton tayangan televisi di kamarku. Tertera nomor yg tidak ada identitasnya di layar ponsel.

"Assallamu'alaikum". Ucapku.
"Wa'allaikumsalam, mbak Za? Ini aku Dina". Suara khas yang aku dengar 5 hari lalu membuatku senang.

"Eh kamu toh dina". Kataku lagi.
"Iya mbak, aku dapat nomornya mbak dari ponselnya Mas yang sekarang dipakai Ibu. Mbak besok ada waktu?". Celoteh Adikmu.

"Insya Allah ada, kenapa dik?" Tanyaku.
"Bisa ketemu mbak? Ditempat kemarin aja,temenin aku beli buku ya mbak?katanya ada diskon." Ucap Dina bersemangat.

"Iya dik, sepulang dari kantor ya dik, jam seperti kemarin." Kataku sambil dibarengi ucapan salam dari Dina.

000000

Lumayan agak lama aku menunggu Dina datang, sesekali aku menyeruput minuman favoritku. Dengan tergesa-gesa dari kejauhan sosok gadis itu berlari-lari kecil ke arahku sambil tergopoh-gopoh.

"Mbak, maaf ya lama,tadi aku isi bensin dulu." Dengan wajah sedikit memelas dia berkata padaku.

"Iya dik ndak apa-apa." Ucapku sambil tersenyum.

Kami berdua pun memacu motor kami masing-masing menuju sebuah toko buku yg terletak tidak jauh dari taman yang biasanya kami kunjungi.

Sampailah kami di toko itu, kami pun masuk untuk memilih-milih buku yang akan kami beli. Saat asyik memilih, sesosok lelaki menyapa Dina.

"Hai Din, beli buku juga?" Sosok itu bertanya pada Dina.

"Eh Ilyas, iya, ama mbakku nih, kamu sendiri?" Jawab Dina.

Sambil tersenyum ke arahku dan Dina, sosok tersebut berkata "Aku juga nyari buku, nih kenalin pacarku, namanya Veni."

Setelah memperkenalkan kepada kami, Sosok itu beserta pacarnya berpamitan meninggalkan kami berdua disitu.

Aku pun memisahkan diri dari Dina karena aku ingin mencari buku di kumpulan buku Religi. Saat aku berada tak jauh dari Dina, aku lihat Dina masih melihat Ilyas dan Veni yang telah berlalu sambil memandang mereka sayu. Serasa ada suatu ganjalan yang disimpan Dina.

Akupun menghampirinya "Kamu kenapa dik?"

"Ndak apa-apa kog mbak." Dina berusaha merahasiakannya dariku.

Setelah selesai membeli buku yang kami inginkan, kami berdua pun menyempatkan makan bersama di sebuah tempat. Kuberanikan diri bertanya "Kalau ada apa-apa cerita ke mbak ya, Insya Allah mbak bisa jaga rahasia"

Dina pun mulai bercerita padaku. "Sebenarnya, aku suka mbak sama Ilyas dari semenjak masih SMA hingga sekarang. Aku menyimpan perasaan ini selama itu. Hanya aku dan Allah yang tau, tapi hari ini aku melihat Ilyas dengan seorang wanita, dan itu pacarnya. Aku menangis, sakit sih mbak, tapi aku tau sekarang bahwa Ilyas memang bukan yang terbaik buat aku."

"Alhamdulillah kalau kamu bisa menjaga hatimu dik, mbak salut sama kamu,kamu masih bisa tersenyum di hadapan Ilyas, walaupun akhirnya kamu menangis juga. Ucapku.

"Iya mbak, mas sering bilang ke aku, jadi wanita itu harus bisa menjaga Izzahnya dan harus punya rasa malu yang sudah menjadi fitrahnya, karena wanita itu mudah tergelincir akan sesuatu yang sungguh berat sanksinya nanti di Akhirat. Seperti rasaku ini mbak pada Ilyas, aku berusaha untuk tak pernah mengumbar rasaku ini, dan menyimpannya."

Tersenyum aku melihat Dina menceritakan itu dengan lantangnya.

Ri,, adikmu, Dina sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik akhlaknya. Kamu berhasil menjaga dan mendidik adikmu hingga seperti ini. Aku melihat kebijaksanaanmu pada diri Dina hari ini. Aku melihat kesabaranmu pada diri Dina detik ini. Aku melihat kejujuranmu pada diri Dina. Aku melihat ke Istiqomahanmu untuk mempertahankan kehormatanmu juga ada pada diri Dina. Kamu selalu banyak memberikan pelajaran tentang semuanya pada orang-orang disekitarmu. Ilmu yang kamu sampaikan sungguh bermanfaat. Bersyukur aku pada Allah yang pernah mengenalkanmu pada hidupku. Disini.. Aku melihat kesederhanaan itu lagi.. Kesederhanaanmu untuk membuat orang-orang disekitarmu tersenyum dan belajar.. Disini, aku tersenyum mengingatmu.. Tersenyum di dalam hatiku.. Jauh di sini.. Di lubuk hatiku yang paling dalam.. Ada sejumput Ikhlas untuk menggapai Ridho-NYA.. Dalam hening aku bermuhasabah.. Dalam sepi aku bermunajat.. Dalam diam aku menghela nafas.. Sunyi.. Damai rasanya
hati ini.....
Terimakasih Ri....










Nb : Cerita ini aku buat hanya untuk sebagai renungan bersama, aku tulis 3 tahun lalu. Copy paste di izinkan asalkan mencantumkan sumbernya........


Selasa, 05 Juni 2012 Posted in | | 0 Comments »

One Responses to "SECERCAH KESEDERHANAANMU"

Write a comment

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------